Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penumpang Sebut Tentara Jual Mi Instan Rp 40.000 di Bandara, Ini Kata Satgas Udara

Kompas.com - 20/12/2021, 15:53 WIB
Muhammad Naufal,
Ivany Atina Arbi

Tim Redaksi

TANGERANG, KOMPAS.com - Beredar sebuah video yang menunjukkan penumpukan penumpang internasional di Bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang. Para penumpang tersebut sedang menunggu untuk mengikuti karantina kesehatan.

Video itu beredar di aplikasi pengirim pesan WhatsApp.

Belakangan diketahui bahwa peristiwa dalam video itu terjadi pada Sabtu (18/12/2021).

Perekam video yang berjenis kelamin perempuan itu berujar, saat sedang menunggu proses untuk karantina kesehatan, dia membeli satu porsi mi instan dengan harga Rp 30.000.

Mi instan itu, menurut perempuan tersebut, dijual oleh tentara yang sedang bertugas di sana.

Baca juga: Tumpukan Penumpang di Bandara Soekarno-Hatta, Satgas Covid-19: Karena Wisma Atlet Lockdown

Dia mengeluhkan perihal harganya yang mahal dan proses pembuatannya yang tergolong lama.

"Kita beli Indomie yang Rp 4.000 jadi Rp 40.000. Tadi saya beli (mi instan) Rp 30.000. Di sini, tentara yang jual," ucapnya.

"Adik saya beli tiga, dikasih Rp 30.000. Kalau beli satu Rp 40.000. Tapi nyeduhnya lama, nunggu air di dispensernya panas," imbuh dia.

Sementara itu, Komandan Satgas Udara Covid-19 Bandara Soekarno-Hatta Letkol Agus Listiono mengelak adanya transaksi jual beli mi instan yang disebut perekam video tersebut.

Dia menduga, perempuan itu menyuruh office boy atau cleaning service untuk membeli mi instan.

"Masalah Indomie yang harganya Rp 30.000, Rp 40.000, itu di sini tidak ada jual beli," ucap Agus kepada awak media, Senin.

"Enggak boleh di sini itu, mungkin dia suruh office boy atau cleaning service karena lapar," sambungnya.

Baca juga: Nasib TKI Pulang ke Indonesia: Menunggu Semalaman di Bandara dan Terlantar di Wisma Atlet

Diberitakan sebelumnya, perempuan itu mengaku sudah menunggu di Bandara Soekarno-Hatta untuk karantina kesehatan sejak Jumat sekitar pukul 18.00 WIB.

Dia menyatakan, proses menunggu karantina kesehatan yang butuh waktu lama itu merupakan cara pemerintah menyiksa masyarakatnya.

"Masya Allah udah dari habis maghrib sampai subuh belum juga selesai. Masih ngantre panjang. Tuh guys, ini bener-bener pemerintah penyiksaan nih terhadap rakyat," urai perempuan itu.

Dalam video itu, perekam mengaku sebagai seorang turis yang baru pulang dari jalan-jalan di luar negeri. Sedangkan kebanyakan penumpang pesawat yang sedang menunggu karantina bersamanya adalah pekerja migran Indonesia (PMI).

"Ini TKI (tenaga kerja Indonesia/PMI) sebagian ya. Yang turis kayak kita-kita sebagian kecil," ujarnya.

Di akhir video, perempuan itu menyebut bahwa proses menunggu karantina kesehatan itu justru menimbulkan penyakit.

"Bukan jadi sehat, malah jadi penyakit. Pada stres kayak ayam aja ini. Manusia dibikin, diperlakukan, kayak ayam," ucap dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 3 Mei 2024, dan Besok: Tengah Malam Ini Berawan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 3 Mei 2024, dan Besok: Tengah Malam Ini Berawan

Megapolitan
Saat Satpam Gereja di Pondok Aren Digigit Jarinya hingga Putus oleh Juru Parkir Liar…

Saat Satpam Gereja di Pondok Aren Digigit Jarinya hingga Putus oleh Juru Parkir Liar…

Megapolitan
Teka-teki yang Belum Terungkap dari Pembunuhan Wanita Dalam Koper di Cikarang

Teka-teki yang Belum Terungkap dari Pembunuhan Wanita Dalam Koper di Cikarang

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] RM Dibunuh, Mayatnya Dimasukkan ke Koper | Brigadir RAT Bunuh Diri Saat Jadi Pengawal Bos Tambang, tapi Atasannya Tak Tahu

[POPULER JABODETABEK] RM Dibunuh, Mayatnya Dimasukkan ke Koper | Brigadir RAT Bunuh Diri Saat Jadi Pengawal Bos Tambang, tapi Atasannya Tak Tahu

Megapolitan
Rute KA Argo Cheribon, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Argo Cheribon, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
Polisi Grebek Laboratorium Narkoba di Perumahan Elite Kawasan Sentul Bogor

Polisi Grebek Laboratorium Narkoba di Perumahan Elite Kawasan Sentul Bogor

Megapolitan
Bau Sampah Terasa Menyengat di Lokbin Pasar Minggu

Bau Sampah Terasa Menyengat di Lokbin Pasar Minggu

Megapolitan
Ini Tujuan Benyamin Ikut Penjaringan Bakal Cawalkot Tangsel di Tiga Partai Rival

Ini Tujuan Benyamin Ikut Penjaringan Bakal Cawalkot Tangsel di Tiga Partai Rival

Megapolitan
Usaha Dinsos Bogor Akhiri Perjalanan Mengemis Rosmini dengan Telusuri Keberadaan Keluarga

Usaha Dinsos Bogor Akhiri Perjalanan Mengemis Rosmini dengan Telusuri Keberadaan Keluarga

Megapolitan
Pembunuh Perempuan Dalam Koper Sempat Tinggalkan Jasad Korban di Hotel

Pembunuh Perempuan Dalam Koper Sempat Tinggalkan Jasad Korban di Hotel

Megapolitan
Dipecat karena Dituduh Gelapkan Uang, Ketua RW di Kalideres: Buat Apa Saya Korupsi Kalau Datanya Lengkap

Dipecat karena Dituduh Gelapkan Uang, Ketua RW di Kalideres: Buat Apa Saya Korupsi Kalau Datanya Lengkap

Megapolitan
Sudah Sepi Pembeli, Uang Retribusi di Lokbin Pasar Minggu Naik 2 Kali Lipat

Sudah Sepi Pembeli, Uang Retribusi di Lokbin Pasar Minggu Naik 2 Kali Lipat

Megapolitan
Benyamin-Pilar Kembalikan Berkas Penjaringan Pilkada Tangsel, Demokrat Sambut dengan Nasi Kebuli

Benyamin-Pilar Kembalikan Berkas Penjaringan Pilkada Tangsel, Demokrat Sambut dengan Nasi Kebuli

Megapolitan
Sehari Berlalu, Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Belum Ditemukan

Sehari Berlalu, Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Belum Ditemukan

Megapolitan
Polisi Masih Observasi Kondisi Kejiwaan Anak yang Bacok Ibu di Cengkareng

Polisi Masih Observasi Kondisi Kejiwaan Anak yang Bacok Ibu di Cengkareng

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com