JAKARTA, KOMPAS.com - Kesederhanaan, kejujuran, dan sikap tak kenal kompromi selalu dipraktikkan Mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso di setiap jabatan yang diembannya.
Dalam sebuah diskusi bertajuk "Dekonstruksi dan Revitalisasi Keindonesiaan" di Bentara Budaya Jakarta, 2006 Silam, Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sempat berkelakar.
"Hanya ada 3 polisi jujur di negara ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng," ujarnya.
Kelakar Gus Dur merefleksikan bahwa sosok Jenderal Hoegeng memanglah sosok polisi di Indonesia yang langka karena kejujuran dan idealismenya.
Dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (2013) karya wartawan Kompas, Suhartono, diceritakan bahwa sikap hidup yang sederhana, jujur, dan tak kenal kompromi, konsisten dijaga Hoegeng meski rezim berganti.
Baca juga: Polri Bantah Isu 8 Kapolda Positif Narkoba Saat Tes Urine Sebelum ke Istana
Pada dekade 1960-an, saat menjabat sebagai Menteri Iuran Negara (1964-1966), Hoegeng pernah menolak permintaan Presiden Soekarno.
Kala itu, Soekarno hendak mengimpor sejumlah barang untuk keperluan pembangunan rumah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Wisma Yaso, Jakarta.
Harapannya, barang-barang itu bisa masuk dari luar negeri dengan proses birokrasi yang tidak berbelit dan berbiaya murah.
Untuk memenuhi keinginan itu, kata Hoegeng, hanya ada dua cara yang bisa dilakukan oleh Bung Karno.
Pertama, membuat surat perintah kepadanya agar proses impor bisa dilakukan dengan mudah dan bebas pajak. Kedua, buat surat ke DPR untuk mengubah undang-undang agar barang impor tak perlu dikenai biaya.
Baca juga: Polda Metro Tetapkan Irjen Pol Teddy Minahasa Tersangka Kasus Peredaran Narkoba
”Ah, begitu saja mesti buat surat dan ubah undang-undang,” sergah Soekarno. Hoegeng menjawab, ”Aturannya memang begitu, Pak.” Bung Karno pun mengalah.
”Bapak bisa mengerti apa yang dikemukakan Pak Hoegeng. Lalu enggak jadi, dan ternyata semua barang di Wisma Yaso itu diambil dari produk dalam negeri,” kata Guntur Soekarnoputra, putra sulung Soekarno, dikutip dari harian Kompas.
Di era Orde Baru, ketika diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) atau Kapolri, Hoegeng menolak berbagai fasilitas, tak terkecuali rumah dinas dan pengawalan.
Ia pun tak segan menindak siapa pun yang melanggar hukum sekalipun dekat atau dilindungi pejabat.
Semasa menjadi Kapolri, Hoegeng menunjukkan komitmen antikorupsi dengan menginstruksikan semua kapolda dan kepala keamanan pelabuhan untuk mendaftarkan kekayaannya.