JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan, rencana tes urine rutin kepada mahasiswa di Jakarta tidak boleh jadi ajang menyeret mereka secara paksa ke penjara.
ICJR menilai kebijakan Polda Metro Jaya yang akan melakukan tes urine rutin kepada mahasiswa mulai November 2022 bersifat paksaan.
“Dalam praktiknya, ketika tes urine dilakukan secara paksa ini seringkali menghadirkan legitimasi dari aparat penegak hukum untuk memberlakukan kriminalisasi bagi pengguna narkotika,” kata Maidina kepada Kompas.com, Senin (24/10/2022).
Baca juga: Polisi Bakal Tes Urine Mahasiswa di Tangsel jika Ada Permintaan Kampus
Bentuk kriminalisasi yang dimaksud oleh ICJR adalah pemaksaan mahasiswa yang kedapatan positif narkoba dalam tes urine berakhir di balik jeruji.
Pemaksaan ke penjara bisa terjadi secara bertahap tetapi berawal dari paksaan tes urine yang dilakukan.
Saat seseorang menjalani tes urine dan kedapatan hasilnya positif narkoba, Maidina berujar, dalam proses pengembangan kasusnya bisa terjadi tindak kriminalisasi menggunakan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tentang ancaman pidana penjara pada kasus penyalahgunaan narkotika.
“Ketika dipaksa tes urine, kemudian positif (hasilnya), maka seringkali hasil yang positif itu digunakan untuk mendasari adanya kriminalisasi bagi pengguna narkotika. Nah itu yang kita kritisi,” ujar Maidina.
Baca juga: ICJR: Polda Metro Jaya Tak Boleh Paksa Mahasiswa Tes Urine, Kecuali...
Padahal, seharusnya pengguna narkotika harus diintervensi terlebih dahulu dan negara punya kepentingan untuk menyelamatkan pengguna narkotika dengan melakukan rehabilitasi.
Hal ini sesuai ketentuan Pasal 54 UU Narkotika yang menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Ketika seseorang mendapatkan hasil tes positif menggunakan narkotika, mereka baru bisa diproses hukum jika benar-benar dinyatakan terlibat dalam sindikat peredaran benda terlarang itu.
“Sayangnya pendekatan yang digunakan saat ini adalah pendekatan pemidanaan (penjara), di mana kemudian pengguna narkotika sulit sekali mendapatkan akses rehabilitasi,” kata Maidina.
Baca juga: Polisi Dinilai Melanggar UU jika Paksa Mahasiswa Tes Urine Rutin
Kendati tidak semua pengguna narkotika mendapatkan atau membutuhkan rehabilitasi, risiko pengguna narkotika dikirim ke penjara atas kasus ini cukup besar.
“Tidak mudah bagi pengguna narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi kesehatan, akhirnya mereka dikirim ke penjara,” ungkap dia.
Jika seseorang tertangkap menggunakan dan terlibat dalam sindikat peredaran jenis obat-obatan terlarang ini, maka Badan Narkotika Nasional (BNN) punya kewenangan untuk memproses secara hukum dan pengadilan, sebelum pelaku dijatuhi hukum penjara sesuai dengan barang bukti dan tindak kejahatan yang dilakukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.