SUDAH hampir satu bulan warga calon penghuni Kampung Susun Bayam melakukan aksi protes kepada PT Jakarta Propertindo (JakPro) dengan cara membangun tenda dan menduduki pintu gerbang masuk Kampung Susun Bayam.
Aksi protes dilakukan lantaran calon penghuni belum mendapat kepastian terkait penyerahan kunci atas hunian yang berdiri di area Jakarta International Stadium (JIS) tersebut.
Sekretaris PT JakPro Syachrial Syarif mengungkapkan bahwa kendala penyerahan kunci hunian disebabkan ketiadaan Surat Bukti Kepemilikan Gedung dari Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) DKI untuk diserahkan kepada JakPro.
Sebelumnya JakPro mengungkapkan bahwa pengelolaan Kampung Susun Bayam akan lebih tepat jika dialihkan kepada Pemprov DKI Jakarta karena faktor kompetensi dan pengalaman.
Adapun dengan persetujuan inbreng yang nantinya dikeluarkan, maka pengelolaan Kampung Susun Bayam berikut dengan penentuan tarif sewa berada di bawah kendali JakPro.
Saling lempar rencana pengelolaan atas Kampung Susun Bayam nyatanya bukan merupakan satu-satunya masalah yang terjadi dalam proses pengadaan tersebut.
Sebelum ramai kasus penundaan serah terima kunci hunian, calon penghuni dan JakPro juga belum menyepakati besaran tarif sewa hunian Kampung Susun Bayam.
Pihak JakPro awalnya menerapkan besaran tarif sewa bulanan sebesar Rp 1,5 juta yang kemudian diralat menjadi Rp 600.000 – Rp 765.000.
Namun besaran tarif tersebut dinilai memberatkan calon penghuni yang mendasarkan argumennya pada tarif sewa kampung susun akuarium yang hanya berkisar antara Rp 34.000 – Rp 40.000.
Pembangunan fisik berupa penyediaan fasilitas umum maupun infrastruktur penunjang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengadministrasian pembangunan yang dijalankan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepatuhan Pemerintah terhadap peraturan perundang-undangan dalam mengadministrasikan pembangunan fisik secara prinsip akan memengaruhi kepastian proses dan kepastian hasil dalam pembangunan yang dilaksanakan.
Namun di era keterbukaan saat ini, masyarakat global menganggap bahwa proses pembangunan yang hanya didasarkan terhadap pemenuhan peraturan saja merupakan wujud pelaksanaan kehendak pemerintah karena peraturan perundang-undangan merupakan hasil kebijakan Pemerintah.
Demokrasi dalam tata kelola pemerintahan mendorong terjadinya pergeseran orientasi dalam administrasi pembangunan.
Sebelumnya pembangunan hanya diarahkan sebagai pemenuhan kebijakan hukum semata. Namun kini bertransformasi menjadi pemenuhan kebijakan hukum yang mengakomodasi partisipasi masyarakat. Partisipasi tersebut dilakukan mulai dari perencanaan, eksekusi, hingga evaluasi.