JAKARTA, KOMPAS.com - Di balik megahnya Ibu Kota, berdiri permukiman yang dikenal dengan sebutan Kampung Apung di Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat.
Meski berada di atas lahan pemakaman yang terendam air, permukiman ini masih eksis sejak berdiri puluhan tahun silam.
Saat berkunjung ke Kampung Apung pada Senin (30/10/2023), Kompas.com ditemani semilir angin dan aroma amis bercampur semerbak bau sampah.
Namun, perjalanan menuju kampung tersebut tak begitu sulit. Sebab, hanya ada satu akses menuju Kampung Apung, yakni melewati gang sempit kemudian jalan setapak.
Jalanannya tak dilengkapi beton ataupun besi pembatas. Sehingga bila tak hati-hati, pengendara dan pejalan kaki bisa tercebur kapan saja.
Baca juga: Sepenggal Kisah Siti Robiah, Puluhan Tahun Hidup di Kampung Apung Cengkareng
Seperti perkampungan pada umumnya, para warga beraktivitas dengan normal. Beberapa dari mereka tampak santai di depan teras rumah sambil memantau anak-anaknya yang tengah bermain.
Memasuki area lebih dalam, terlihat tanaman eceng gondok dan sampah yang mengapung di atas sisa-sisa air yang merendam Kampung Apung. Ada pula warga yang asyik memancing ikan di air berwarna kehijauan.
Adapun rumah-rumah yang ditempati warga dibangun seadanya. Beralaskan tripleks dan kayu, rumah semipermanen ini menjadi tempat berteduh puluhan warga.
Di sisi lain, sejumlah bangunan di antaranya dibangun permanen.
Menurut warga bernama Siti Robiah (60), Kampung Apung sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Air yang merendam kawasan tersebut mulanya berasal dari banjir yang tak bisa mengalir ke sungai karena aliran ditutup untuk pembangunan pabrik.
"Air dari mana-mana masuk ke sini, engak bisa keluar. Kalau dulu, masuk bisa keluar bebas ke sana belum ada pabrik," kata Siti ditemui di kediamannya.
Baca juga: Kampung Apung Muara Baru, Wajah Warga Miskin Ekstrem di Jakarta...
"Iya musim hujan kerendam, ini juga masuk ke rumah kalau air meluap," imbuh dia.
Lantaran air masuk ke rumahnya, dia harus memutar otak dengan menggunakan kasur tingkat. Dengan begitu, Siti dan keluarganya bisa tidur meski banjir melanda permukiman.
"Kami mencuci saja di situ. Airnya bening, tetapi buat masak biasanya beli dua jeriken Rp 6.000. Untuk mandi dari Sanyo (mesin pompa air), tancap bor," ucap dia.
Adapun Siti harus membayar uang sewa Rp 300.000 per bulan untuk bisa menempati rumah di sana. Dia juga harus membayar listrik Rp 200.000 per bulan.
Baca juga: BERITA FOTO: Sisi Lain Jakarta, Melihat Potret Kehidupan di Kampung Apung, Muara Baru...
"Soalnya suami saya kerjanya dekat di bengkel yang seberang. Cucu saya juga betah di sini. Mau pindah-pindah juga sayanya enggak mau," papar Siti.
Musim kemarau panjang saat ini, membuat air di Kampung Apung surut. Dia menyebut, kondisi itu telah terjadi sejak sekitar tiga bulan lalu.
Ketinggian air hanya beberapa sentimeter saja. Alhasil, makam yang berada di dasar air pun bisa terlihat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.