JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang telah ditetapkan sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna, menuai kontroversi.
Sebab, dalam RUU DKJ ada aturan yang berimplikasi pada peniadaan pemilihan kepala daerah (pilkada) setelah Jakarta tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 10 ayat 2 draf RUU DKJ yang berbunyi: "Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD".
Baca juga: RUU DKJ Atur Gubernur Ditunjuk Presiden, Heru Budi: Saya Belum Baca...
Meski RUU DKJ menghilangkan pilkada langsung, demokrasi disebut tetap muncul melalui usulan DPRD.
Aturan itu pun dihujani kritikan. Sederet anggota DPRD DKI Jakarta dari berbagai fraksi menolak ketentuan tersebut.
Anggota Fraksi PDI-P DPRD DKI Gilbert Simanjuntak mengkritik RUU DKJ yang baru saja disetujui DPR.
Menurut Gilbert, aturan gubernur dipilih oleh presiden akan mengebiri hak konstitusional warga.
"Rakyat Jakarta mampu memilih sendiri gubernurnya. Jangan kebiri hak konstitusionalnya,” ujar Gilbert saat dihubungi, Rabu (6/12/2023).
Menurut Gilbert, reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mendukung adanya otonomi daerah serta pilkada langsung.
Karena itu, usulan menghilangkan pemilihan gubernur setelah Jakarta tak lagi menjadi Ibu Kota Negara, bertolak belakang dengan semangat reformasi.
“Salah satu alasan pilkada langsung adalah karena sentralistik Orde Baru yang mengangkat kepala daerah, sehingga isu saat itu adalah militer, Jawa, dan penunjukan presiden. Sangat aneh apabila sekarang timbul ide neo orba untuk sentralistik,” kata Gilbert.
Baca juga: Tolak RUU DKJ soal Gubernur DKI Ditunjuk Presiden, F-PKS: Harus Kembali ke Semula
Menurut Gilbert, biaya pilkada Jakarta yang disebut mahal tak bisa dijadikan alasan untuk mengatur penunjukan langsung gubernur dan wakil gubernur oleh presiden.
Daftar pemilih tetap (DPT) di Jakarta saat ini sekitar 8 juta orang.
Gilbert menyebut, jumlah itu terbilang sedikit dibandingkan provinsi lain di Indonesia yang memiliki puluhan juta pemilih.
“Apabila pertimbangan karena faktor biaya pilkada, maka dengan DPT sekitar 8 juta di Jakarta sebagai kota, ini tidak ada artinya dengan DPT provinsi lain yang begitu luas dengan jumlah pemilih 28 juta lebih,” ujar Gilbert.