JAKARTA, KOMPAS.com - Tepat hari ini, sepuluh tahun lalu, rangkaian kereta rel listrik (KRL) rute Serpong-Tanah Abang menabrak truk tangki di Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan.
Akibatnya, truk bermuatan 24.000 liter bahan bakar minyak (BBM) itu terpental sejauh 25 meter, lalu meledak hingga menewaskan tujuh orang pada 9 Desember 2013 pukul 11.15 WIB.
Setidaknya terdengar hingga tiga kali ledakan. Kebakaran yang terjadi menghanguskan gerbong masinis dan gerbong paling depan khusus wanita.
Baca juga: Mengenang Aksi Heroik Teknisi KRL yang Tewas Dalam Tragedi Bintaro 2
Penumpang dalam KRL sempat panik karena tidak dapat keluar setelah kereta menabrak truk tangki. Pasalnya, tidak semua pintu terbuka akibat kecelakaan tersebut.
Penumpang berusaha keluar dengan segala cara. Salah satunya dengan memecahkan kaca. Mereka yang tidak beruntung, terjatuh dan terinjak-injak.
Di sisi lain, lalu lintas di pelintasan di dekat Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, lumpuh karena kendaraan di kedua sisi tak bisa melintas.
Dua jam lebih api baru bisa dikendalikan. Hujan yang kebetulan turun hari itu membantu pemadaman api di gerbong KRL.
Baca juga: Pertamina Beri Beasiswa bagi Anak Korban Kecelakaan KRL
Tujuh orang dilaporkan meninggal dalam insiden tersebut, termasuk masinis Darman Prasetyo (25), asisten masinis Agus Suroto (24), dan teknisi Sofyan Hadi (20). Puluhan lainnya menderita luka-luka.
Jumlah korban tewas bisa lebih banyak dari itu andai petugas bernama Sofyan Hadi tidak bergerak cepat atas apa yang bakal menimpa kereta itu.
Setelah menyadari rangkaian kereta akan menabrak truk Pertamina, ia berlari ke gerbong pertama dan meminta para penumpang secepatnya pindah ke gerbong belakang. Situasi mendadak mencekam.
Sofyan kemudian kembali ke kabin masinis dan menutup rapat pintu agar semburan api pasca kebakaran tidak menjalar lebih jauh.
Baca juga: Ini Penyebab Kecelakaan KRL di Bintaro Versi KNKT
Namun, takdir berkata lain. Kecelakaan tidak bisa terhindarkan. Api menghanguskan ruang masinis dan membunuh Sofyan, dua rekannya, dan empat penumpang.
Menurut Direktur Sarana PT Kereta Api Indonesia saat itu, Bambang Eko Martono, sebenarnya Sofyan memiliki kesempatan untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
"Tapi dia memilih kembali ke ruangan tugasnya. Apa yang dilakukannya memperlihatkan betapa ia mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingannya sendiri,” ujar Bambang, Kamis (9/12/2023).
Untuk mengenang jasa Sofyan, namanya kemudian diabadikan di Balai Pelatihan Teknik Perkeretaapian, Bekasi.