JAKARTA, KOMPAS.com - Perantau asal Blora, Jawa Tengah, bernama Sadikun (56) menceritakan sepotong perjalanan hidupnya hingga dia menjadi salah satu marbut di Masjid Raya Palapa Baitus Salam, Pasar Minggu, Jakarta Selatan sejak 1992.
Sadikun pertama kali merantau ke Jakarta pada 1987 dan usianya saat itu masih 24 tahun. Dia ke Ibu Kota hanya bermodalkan uang Rp 50.000 hasil penjualan dua ekor kambingnya.
Alasannya merantau ke Jakarta hanya satu, mendulang rezeki dari pekerjaan yang sudah dijanjikan oleh temannya, yakni sebagai kuli bangunan untuk proyek perumahan di Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Baca juga: Sepenggal Perjalanan Spiritual Marbut Masjid di Jakarta Selatan…
“Sampai Terminal Pulo Gadung pagi-pagi buta. Lanjut ke Cibitung untuk pekerjaan (kuli) bangunan. Sudah sampai sana (Cibitung), enggak ada orangnya,” kata Sadikun saat ditemui Kompas.com di Masjid Raya Palapa Baitus Salam, Kamis (21/3/2024).
Setelah dia menunggu selama hampir setengah hari, temannya tak juga kelihatan batang hidungnya. Harapannya mendulang rezeki pun sirna.
Sadikun pun teringat bahwa ayahnya juga tengah merantau ke Jakarta. Oleh karena itu, dia menghampiri ayahnya yang saat itu sudah beberapa tahun menjadi marbut di Masjid Raya Palapa Baitus Salam.
Sebelum menjadi marbut, ayah Sadikun merupakan salah satu kuli proyek pembangunan Masjid Raya Palapa Baitus Salam pada 1982.
Alhasil, Sadikun menuju Pasar Minggu dengan menumpangi bus Mayasari Bhakti 506. Tentunya, memakai sisa uang dari hasil penjualan kambingnya.
“Akhirnya ketemu Bapak saya itu menjelang Ashar. Karena bapak saya ngontrak cuma Rp 15.000 untuk satu petak, saya ngontrak juga buat kerja sebagai kuli bangunan di tempat lain,” ucap Sadikun.
Selama lima tahun, Sadikun melanglang buana di Jakarta. Dalam periode waktu itu, dia juga sempat menjadi penyedia layanan kebersihan secara umum atau cleaning service.
Baca juga: Demi Hapus Rasa Sepi, Sudarman Jadi Marbut Masjid di Usia Senja
Namun, ia tidak kuat. Alhasil, ayah Sadikun menyarankannya untuk mengikuti jejaknya sebagai marbut di Masjid Raya Palapa Baitus.
“Tahun 1992 jadi marbut. Alasannya, ya cari kerja sulit. Daripada mondar-mandir enggak jelas, ya sama saja. Akhirnya, ya sudah, jadi marbut,” tutur Sadikun.
“Ya karena pendidikan kita enggak ada, cuma lulusan SD. Kalau melamar di mana, enggak bisa. Keahlian cuma angkat berat. Akhirnya, ya marbut saja,” lanjutnya.
Dua tahun melakoni pekerjaannya sebagai marbut, Sadikun mengaku tidak betah. Pikiran realistisnya selalu menghantui setiap saat.
“Sempat enggak betah saya, kan karena upahnya sedikit, tapi kebutuhan hidup juga harus berjalan. Pengin ini, tapi gimana gitu,” ujar dia.
“Akhirnya, ya sudah, mentok, ya sudah menetap di rumah Allah saja. Dapat berapa saja yang penting disyukuri. Syukur ini yang membuat saya bertahan sampai sekarang,” pungkas Sadikun.
Baca juga: Soal Gaji Marbut Masjid, Tamin: Alhamdulillah, yang Penting Bersyukur
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.