JAKARTA, KOMPAS.com - Kerja keras kian berat ketika Kalibaru meluap seperti yang terjadi pada Selasa (12/11) malam hingga Rabu (13/11) siang. Air Kalibaru harus segera dialirkan ke jalan agar luapan air ke permukiman warga dapat dikurangi.
Pengalihan ini harus dilakukan karena aliran air tidak bisa masuk ke dalam saluran yang ada di bawah Jalan Raya Bogor, tepatnya di depan Pusat Grosir Cililitan. Saluran yang tertutup itu tak lagi mampu menampung air karena tersumbat endapan lumpur dan sampah.
Selama hampir satu jam Ikhwan dan Supri berusaha menarik ”gerombolan” sampah yang tersangkut di dalam gorong-gorong. Jenis sampahnya pun beragam, mulai dari gumpalan plastik, kain, batang pohon, gulungan kabel, hingga kasur tipis.
Butuh usaha keras menarik sampah di dalam gorong-gorong, ujar Ikhwan. Semua sampah itu tersangkut kabel listrik berdiameter lebih dari 10 sentimeter yang melintang di tengah gorong-gorong.
”Saya juga tidak habis pikir, kenapa ada kabel sebesar itu di gorong-gorong,” kata Ikhwan.
Berhasil menarik sampah di gorong-gorong, Supri lalu berlari untuk membuka pintu air yang menghubungkan Kalibaru dengan gorong-gorong. Susah payah dia memutar roda besi penggerak pintu air yang beberapa giginya patah.
”Heh, banyak giginya (gigi roda) yang ompong. Harus ekstra tenaga, nih,” katanya sambil menghela napas.
Sementara Ikhwan bertahan di mulut gorong-gorong dengan menancapkan kedua kakinya di dinding saluran. ”Mulai jalan airnya,” kata Ikhwan berteriak dan segera naik ke atas jalan.
Di bibir Kalibaru, Supri dan Ikhwan sejenak mengamati aliran Kalibaru sambil mengatur napas dan meminum teh yang sudah mereka siapkan sendiri. Tidak berapa lama beristirahat, Ikhwan sudah memerintahkan Supri kembali mengenakan sepatu bot.
Supri diperintahkan menarik saringan besi yang dibuka sejak Selasa malam. Sementara Ikhwan nyemplung ke tengah aliran Kalibaru untuk mengembalikan saringan itu ke posisi semula.
Seusai melakukan itu semua, Ikhwan dan Supri melanjutkan lagi kerja mereka dengan menarik sampah yang tersangkut di pintu saringan. Namun, upayanya terhenti beberapa kali karena conveyor belt sampah dari pintu saringan ke penimbunan beberapa kali macet terganjal gunungan sampah.
Hal itu terjadi karena Dinas Kebersihan DKI tak mengangkutnya sejak selama tiga bulan terakhir. Akibatnya, sampah itu kembali tersangkut di pintu saringan. Hingga menjelang Rabu sore, pekerjaan Ikhwan dan Supri belum juga tuntas untuk mengangkut sampah dari Kalibaru. Beberapa kali Ikhwan harus meratakan tumpukan sampah di tempat penimbunan agar tak mengganggu putaran conveyor belt.
Pemerintah alpa
Pekerjaan Ikhwan dan Supri selama satu hari itu nyaris menenggelamkan semua proyek-proyek besar penanganan banjir Jakarta. Betapa Kalibaru yang hanya memiliki lebar 15 meter itu tak tertangani dengan baik. Pemerintah selama ini sangat bergantung pada tenaga ”manusia pintu air” seperti Ikhwan dan Supri yang hanya pekerja honorer dengan upah Rp 2,2 juta per bulan.
Risiko yang dihadapi pekerja honorer ini bukan hanya ”teror” dari pejabat pemprov jika terjadi banjir, tetapi juga warga saat memutuskan membuka Pintu Air Kalibaru ke gorong-gorong menuju Kali Ciliwung. Keputusan itu bisa menyebabkan banjir di permukiman yang ada di tepian Ciliwung.