JAKARTA, KOMPAS.com - Kebakaran yang melanda Blok III Pasar Senen, Jakarta Pusat, menimbulkan sejumlah pertanyaan. Bagaimana tata ruang kota ditegakkan saat menghadapi maraknya komersialisasi lahan. Banyak pasar tradisional terdapat di lokasi strategis, seperti Pasar Senen.

Letaknya sangat berdekatan dengan stasiun, terminal, dan mal. Aktivitas warga di kawasan itu sangat tinggi sehingga berpeluang meningkatkan nilai jual properti di kawasan itu.

Berdasarkan data dari lembaga Rujak, seperti tertuang dalam laman rujak.org, komersialisasi lahan turut menyumbang perubahan kondisi pasar tradisional. Di Jakarta, sedikitnya tiga pasar di Jakarta Utara berhenti beroperasi tahun 2010. Ketiganya adalah pasar komunitas yang dekat dengan keseharian masyarakat.

Seharusnya ruang kota di pasar tradisional menjadi tempat berinteraksi warga, antara penjual dan pembeli dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, dengan maraknya komersialisasi lahan, pasar bergeser hanya semata-mata menjadi tempat produksi.

Tidak lagi ada kepedulian untuk membuat suasana menarik, nyaman, dan menyenangkan. Yang ada hanya bagaimana caranya menghasilkan uang dari tempat itu.

Dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta disebutkan, tujuan penataan ruang Kecamatan Senen adalah terwujudnya ruang untuk pusat perkantoran, perdagangan, dan jasa skala nasional yang terintegrasi dengan angkutan umum massal. Untuk mewujudkannya, RDTR mengamanatkan, di antaranya, terlaksananya pembangunan dan perbaikan lingkungan prasarana perdagangan dan jasa dengan menyediakan ruang bagi usaha mikro. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebelumnya mengatakan, pemerintahannya akan fokus membenahi pasar tradisional. Dengan demikian, pasar memiliki daya saing dan semakin diminati masyarakat.

Kekhasan semakin hilang

Namun, janji soal pembenahan pasar tradisional dirasakan pedagang sebagai sekadar janji. Khususnya di Jakarta, nyaris tidak ada pasar hasil revitalisasi yang 100 persen bisa sukses mengusung kekhasannya.

”Pasar Tanah Abang, misalnya, memang masih jadi pusat pasar tekstil terbesar. Namun, pasar itu dulu juga kebakaran sebelum revitalisasi. Setelah ada gedung baru, lebih banyak orang/pedagang baru yang masuk ke sana. Pedagang lama mana bisa membayar kios yang harganya 10 tahun lalu saja sampai Rp 400 juta,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Ngadiran, Minggu (27/4).

Terkait Pasar Senen, Ngadiran tidak yakin saat gedung baru selesai dibangun nanti, kekhasannya bisa muncul kembali. Pasar ini sejak berpuluh tahun silam menjadi one stop shopping untuk aneka kebutuhan sehari-hari dengan menempatkan penjual kebutuhan dapur hingga elektronik sesuai porsinya.

Ia khawatir, saat Senen menjadi gedung baru, penjual kebutuhan dapur hanya akan menempati sudut sempit di ruang bawah tanah. Kebutuhan dapur menjadi sesuatu yang harus selalu disembunyikan. Coba tengok Pasar Mayestik di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, atau di Pasar Blok M.

Penjual kebutuhan dapur jelas bukan pedagang beromzet besar. Ia perlu dibantu dengan ketersediaan kios memadai serta harga dan biaya sehari-hari terjangkau. Keberadaannya menjadi penghapus dahaga warga kota yang tidak semuanya mampu berbelanja ke supermarket. Keberadaan pedagang tradisional yang mandiri dan tidak terikat dengan pemodal besar layaknya supermarket juga menjadi kekuatan ekonomi kota.

Pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna, mengatakan, banyaknya gedung pasar baru dan pusat perbelanjaan baru yang melompong, membuktikan masyarakat Indonesia, termasuk di Jakarta, tak selalu membutuhkan gedung superbesar untuk pemenuhan kebutuhan mereka.

Menurut dia, mal banyak yang kosong karena masyarakat kelas menengah kita lebih suka berbelanja di dekat rumah. Mereka jadikan gedung baru tempat nongkrong saja. Namun, mungkin akan berbeda jika dirancang pasar-pasar yang amat khas dan dikembangkan dengan konsep wisata belanja. Wajah Jakarta mungkin lebih berwarna dan ramah untuk semua kalangan masyarakat. (FRANSISCA ROMANA/NELI TRIANA)