Setelah penumpang itu turun, bus melanjutkan kembali perjalanannya dan si sopir pun kembali menggeber laju kendaraannya di lajur kanan. Namun hanya beberapa meter setelah bus melaju, terdengar kembali teriakan dari penumpang lainnya yang juga hendak turun.
Walaupun baru melaju beberapa meter di lajur kanan, bus tetap kembali menepi ke lajur kiri untuk menurunkan penumpangnya. Padahal secara peraturan lalu lintas, kendaraan yang menepi ke lajur kiri secara tiba-tiba dari lajur kanan berpotensi untuk membahayakan pengguna jalan yang lain.
Kira-kira hal itulah yang sering dijumpai setiap harinya pada layanan angkutan umum konvensional di Jakarta. Beberapa warga yang biasa menggunakan angkutan umum mengakui kerap melakukan hal tersebut. Malas untuk berjalan kaki menjadi alasan utama.
"Iya, malas jalan kaki. Lagian busnya juga mau kalau disuruh berhenti," ujar salah seorang karyawati swasta, Muttya (25).
Hal yang sama dikemukakan Rozak (30). Dia juga akan memilih berhenti tepat di depan tempat tujuan walaupun sebelumnya telah ada penumpang lain yang berhenti tak jauh dari tempat tujuannnya.
"Sopirnya juga mau-mau aja kalau disuruh berhenti," ujar karyawan yang bekerja di kawasan Jalan Kebon Sirih itu.
Karena setoran
Fenomena hubungan antara penumpang yang malas untuk berjalan kaki dengan bus yang terlalu sering menepi ke lajur kiri secara tiba-tiba dinilai merupakan dampak dari penerapan sistem setoran yang telah terlanjur mengakar pada pengelolaan angkutan umum di ibu kota.
Direktur Institute Transportation for Development Policy (ITDP) Indonesia, Yoga Adiwinarto menganggap, ugal-ugalannya sopir-sopir bus di Jakarta merupakan dampak dari penerapan sistem setoran.
Dengan sistem setoran, maka sopir diharuskan mendapatkan banyak penumpang demi memenuhi jumlah uang yang harus ia setorkan ke pemilik bus.
Karena diharuskan untuk mendapatkan banyak penumpang itulah, kata Yoga, maka sopir akan mengakomodasi segala macam penumpang, dari yang berperilaku disiplin dengan menunggu di halte maupun yang tidak disiplin yang seringkali memberhentikan bus di perempatan.
"Kenapa penumpang bisa berhenti seenaknya? Karena sistem setoran. Di sistem setoran penumpang diharuskan mencari penumpang yang sebanyak-banyaknya," ujar Yoga kepada Kompas.com, Senin (13/10/2014).
Mental dibina
Yoga menilai, cara pembayaran yang ideal bagi pengelola angkutan umum adalah dengan cara penerapan pembayaran per kilometer, seperti yang diterapkan pada layanan bus transjakarta.
"Coba lihat transjakarta, penumpang tidak bisa berhenti seenaknya kan? Itu karena di transjakarra tidak pakai sistem setoran, tapi pembayaran rupiah per kilometer," papar dia.
Dengan menerapkan pembayaran per kilometer, kata Yoga, maka sopir-sopir angkutan umum tidak dibebani untuk mengincar jumlah penumpang. Sopir hanya diwajibkan menaikturunkan penumpang yang ada di halte.
Dengan demikian, ujar Yoga, para penumpang akan dipaksa membiasakan diri untuk disiplin dengan naik turun di hanya dri halte atau tempat-tempat lain yang telah ditentukan.
"Walaupun tidak ada penumpang pun, sopir-sopir tidak akan ngetem. Karena mereka tidak lagi terikat pada sistem setoran," pungkas Yoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.