Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menjelaskan, saat anak berbuat salah, orangtua harus memberi hukuman berupa konsekuensi logis. Konsekuensi logis berarti ada hal yang harus ditanggung oleh anak itu ketika dia melakukan sebuah kesalahan, bukan memberi hukuman yang malah membuat anak jadi trauma.
"Misalnya, anak malas belajar, kita bisa kasih model hukuman dengan bilang kalau enggak belajar, nilainya jelek, enggak dapat ranking di sekolah. Jadi, harus ada hukuman yang sifatnya membangun, memacu anak jadi lebih baik," kata Rita, Jumat (15/5/2015).
Menurut Rita, dengan konsep hukuman seperti itu, anak bisa sekaligus diajarkan cara bertanggung jawab sejak kecil. Sementara itu, pada kasus bocah AD, Rita melihat orangtuanya menerapkan hukuman berupa kekerasan fisik dan psikis. Hal ini yang seharusnya dihindari karena anak-anak tidak akan berkembang melalui cara kekerasan.
Sampai saat ini, belum diketahui apa motif dari T dan N menelantarkan kelima anaknya. Saat ditemui di ruang piket Jatanras Polda Metro Jaya, Kamis (14/5/2015) malam, T menyebutkan bahwa AD sengaja dibebaskan karena adalah anak laki-laki, sedangkan empat saudara perempuannya, L (10), C (10), AL (5), dan DN (4), lebih banyak di rumah.
Tentang dugaan AD tidak diurus dan sering keluar-masuk rumah, T mengatakan kalau hal itu sudah biasa terjadi, apalagi rumah di sana memang tidak berpagar.
"Saya kasih dia (AD) pegang kunci rumah kok. Dia bebas kapan saja mau keluar-masuk rumah. Enggak usah diatur-atur lagi, kan sudah pintar dia," ujar T.
T dan N dilaporkan atas dugaan tindak pidana penelantaran anak, perlakuan salah, kekerasan fisik dan psikis terhadap anak. Jika terbukti bersalah, mereka terancam hukuman di atas lima tahun penjara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.