Untuk mendukung pemeriksaan tersebut, polisi juga tengah mengumpul data-data dari berbagai pihak. Salah satunya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terkait spesifikasi impor genset tersebut.
Adjie mengatakan, penyidik ingin mengetahui harga genset di pasaran. Dengan demikian, polisi mengetahui selisih harga yang dianggarkan dan yang direalisasikan.
"Jadi untuk mencari hubungan perbedaan. Bukan saja pada nilai sepesifikasi tapi juga pada harga nilai barang. Sehingga bisa menimbulkan dua, pertama ada selisih harga. Kedua, ada spesifikasi yang tidak sesuai," ungkap Ajie.
Dari hasil penyidikan tersebut, Ajie menjelaskan bahwa polisi baru bisa menetapkam tersangka. "Itu (selisih harga dan spesifikasi) yang harus dikuatkan. Baru ada tersangka," jelas Ajie.
Diketahui, sumber dana pengadaan 540 mesin genset itu adalah dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2013. Kelima provinsi yang menerima genset adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.
Dugaan korupsi tersebut dilihat dari selisih daya genset yang harusnya sesuai Kerangka Acuan Kerja (KAK) sebanyak 28 Kwh menjadi 22 Kwh, atau selisih 6 Kwh. Jika harga 1 Kwh di pasar Rp 3 juta, maka negara menderita kerugian Rp 18 juta per satu genset atau Rp 9.720.000.000 secara keseluruhan.