Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Faktor Ini Jadi Penyebab Transjakarta Mudah Terbakar

Kompas.com - 11/07/2015, 10:11 WIB
Alsadad Rudi

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam diskusi bertema "Save Transjakarta Busway" pada Kamis (9/7/2015), Komisaris PT Transjakarta Muhammad Akbar memaparkan faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab utama transjakarta mudah terbakar.

Akbar menyebut ada dua faktor yang menjadi penyebab utama bus berlajur khusus itu menjadi mudah dilalap api, yakni beban kerja yang berat dan rancangan khusus. Berikut pemaparannya:

Beban kerja berat
Menurut Akbar, penyebab pertama yang membuat transjakarta mudah terbakar adalah beban kerja yang berat. Ia mengatakan, sampai dengan saat ini masih banyak transjakarta yang beroperasi non-stop dari pukul 05.00 hingga pukul 23.00. Hal tersebut, kata dia, tidak terjadi pada bus-bus kota reguler. "Jam kerjanya lebih banyak, beda dengan metromini," ujar Akbar.

Jam kerja yang lebih banyak, lanjut dia, masih ditambah dengan kondisi bus yang sering kali mengangkut penumpang melebihi kapasitas. Menurut Akbar, sebenarnya ada prosedur operasi standar yang mengharuskan petugas transjakarta melarang penumpang yang ada di halte masuk ke bus yang sudah penuh.

"Namun, petugas sulit melakukannya. Pas lihat udah banyak penumpang yang berjubel di halte dan memaksa masuk ke bus, mereka tidak kuasa menolak," ucap Akbar.

Akbar melanjutkan, masih ada satu faktor lagi yang membuat beban kerja transjakarta lebih berat dari bus pada umumnya, yakni bahan bakar gas yang digunakan. Menurut Akbar, bus berbahan bakar gas memiliki bobot yang lebih berat ketimbang bus bermesin diesel yang berbahan bakar solar.

"Total ada sembilan tabung di bus. Ini menambah berat secara signifikan. Jadi, beban busnya lebih berat ketimbang bus diesel," ucap alumnus Leeds University, Inggris, ini.

Rancangan bus
Transjakarta adalah bus yang menggunakan bahan bakar gas dan memiliki lantai yang lebih tinggi dari bus kebanyakan. Akbar mengatakan, lantai bus yang lebih tinggi membuat letak tabung gas bus transjakarta mau tidak mau harus berada di bagian bawah. Hal ini berbeda dari bus-bus berbahan bakar gas yang digunakan di negara lain yang tabung gasnya berada di atas karena lantai bus yang rendah.

"Pada praktik internasional, bus-bus berbahan bakar gas itu low deck (berlantai rendah) dan tabungnya di atas," ujar dia.

Menurut Akbar, bahan bakar gas dan lantai yang lebih tinggi membuat transjakarta memiliki spesifikasi khusus yang tidak akan bisa ditemui di negara lain. Ia mengatakan, dua hal tersebut membuat perakitan bus untuk transjakarta harus melalui pemesanan khusus. Namun, hal ini membuat riset mengenai rancangan transjakarta dipertanyakan.

"Karena pabrik mendesain khusus, kita tidak tahu risetnya. Selama ini juga belum pernah ada rancangan ideal untuk transjakarta. Jangan-jangan selama ini tidak pernah ada riset mengenai desain ideal untuk transjakarta," duga Akbar.

Akbar mensinyalir, selama ini proses perakitan bus transjakarta oleh perusahaan karoseri menggunakan material yang sama dengan bus pada umumnya. Kondisi ini yang ia duga membuat transjakarta menjadi mudah terbakar. Terlebih lagi, dia berujar, sejauh ini dari sekian banyak peristiwa yang telah terjadi, sumber penyebab bus transjakarta mudah terbakar bukan dari mesin, melainkan dari komponen-komponen lainnya.

"Kalau sumbernya dari kabel, maka hubungannya bukan ke mesin. Artinya bukan merek, tetapi karoseri. Selama ini busnya mereknya memang beda-beda, tetapi karoserinya sama," ucap Akbar.

Solusi untuk Transjakarta
Akbar mengatakan, bila aturan mengenai lantai tinggi dan wajib berbahan bakar gas masih ingin tetap diterapkan, langkah pertama yang harus dilakukan untuk mencegah terulangnya peristiwa terbakarnya transjakarta adalah melakukan riset mengenai rancangan ideal untuk bus tersebut.

Akbar berpendapat, idealnya, material yang dipakai dalam perakitan bus untuk transjakarta adalah material yang berbeda dari bus pada umumnya. Ia menilai, hal itu harus dilakukan walaupun konsekuensinya berdampak terhadap biaya perakitan yang lebih mahal.

"Perlu ada satu riset seperti apa desain yang pas untuk karoseri transjakarta. Dengan beban kerja yang cukup tinggi dan bobot yang lebih berat, desain harusnya beda dengan bus pada umumnya, walaupun konsekuensinya membuat harganya jadi lebih mahal," ujar Akbar.

Namun bila rekomendasi pertama tersebut dinilai sulit untuk dilakukan, Akbar menilai bahwa cara paling mudah adalah mengonversi semua transjakarta menjadi bermesin diesel sehingga berbahan bakar solar. Menurut Akbar, saat ini sudah banyak mesin diesel yang ramah terhadap lingkungan.

"Pada awal mula kemunculannya, transjakarta membawa misi mulia, yakni memperbaiki kualitas layanan angkutan umum dan jadi jangkar program pemerintah terkait konversi bahan bakar fosil ke gas. Namun jika misi mulia malah jadi beban, tentu tidak masalah kalau kembali menggunakan diesel," papar Akbar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Satpol PP Minta Pihak Keluarga Jemput dan Rawat Ibu Pengemis Viral Usai Dirawat di RSJ

Satpol PP Minta Pihak Keluarga Jemput dan Rawat Ibu Pengemis Viral Usai Dirawat di RSJ

Megapolitan
Mulai Hari Ini, KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran Cagub Independen

Mulai Hari Ini, KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran Cagub Independen

Megapolitan
Kala Senioritas dan Arogansi Hilangkan Nyawa Taruna STIP...

Kala Senioritas dan Arogansi Hilangkan Nyawa Taruna STIP...

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Kebengisan Pembunuh Wanita Dalam Koper | Kronologi Meninggalnya Siswa STIP yang Dianiaya Senior

[POPULER JABODETABEK] Kebengisan Pembunuh Wanita Dalam Koper | Kronologi Meninggalnya Siswa STIP yang Dianiaya Senior

Megapolitan
Daftar 73 SD/MI Gratis di Tangerang dan Cara Daftarnya

Daftar 73 SD/MI Gratis di Tangerang dan Cara Daftarnya

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com