Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dimanjakan Parkir

Kompas.com - 07/08/2015, 16:22 WIB
Oleh AGUS HERMAWAN

”Sejak 20 Juli tarif parkir naik Rp 5.000 jam pertama. Rp 4.000 setiap jam berikutnya”.

Kertas selebar HVS bertuliskan pengumuman itu terpasang di jendela kasir parkir di pintu keluar sebuah mal besar di kawasan selatan Jakarta.

Untuk mendapatkan parkir di mal tersebut bukanlah perkara mudah, terutama saat jam makan siang. Apalagi saat akhir pekan. Rupanya tarif baru parkir sebesar itu belum dianggap mahal oleh para pemilik kendaraan pribadi. Setiap lantai parkir penuh.

Sistem perparkiran di Jakarta memang belum menjadi satu cara untuk membuat warga meninggalkan kendaraan pribadinya. Idealnya, pembatasan parkir dengan berbagai cara akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Para pengguna kendaraan pribadi diharapkan beralih ke angkutan umum.

Namun, sejauh ini, kendaraan pribadi memang ”dimanjakan” oleh pengelola kota. Mereka bisa menggunakan kendaraannya dengan leluasa dan ibaratnya bisa parkir di mana saja. Jika tarif parkir di gedung-gedung parkir atau di pinggir jalan (on street parking) dianggap mahal, warga bisa memanfaatkan badan-badan jalan untuk memarkir kendaraan mereka.

Sudah jadi pemandangan biasa jika di tempat-tempat yang tak semestinya, bahkan lengkap dengan tanda larangan parkir, warga bisa dengan leluasa memarkir mobil atau motornya. Di sebuah halte transjakarta di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, misalnya, sejumlah kendaraan bermotor diparkir di atas median jalan. Bisa ditebak, para pemiliknya parkir di situ, lalu melanjutkan perjalanannya dengan bus transjakarta.

Banyak warga di pinggiran Jakarta melakukan langkah praktis seperti itu dengan memarkir kendaraannya di sekitar halte bus, terminal, atau stasiun KA. Bahkan, sejumlah warga memiliki lebih dari satu kendaraan bermotor. Satu kendaraan untuk pergi-pulang dari rumah ke stasiun. Satunya lagi dipakai untuk bergerak dari stasiun/halte tujuan ke kantor. Menurut sejumlah pelakunya, cara itu jauh lebih murah daripada membayar ojek setiap hari.

Tanpa sadar, mereka sudah mempraktikkan park and ride. Persoalannya, bukan perkara mudah untuk mendapatkan tempat parkir di sekitar halte, terminal, atau stasiun. Belum tersedia tempat-tempat parkir yang layak dan berkapasitas cukup di sekitar lokasi-lokasi itu. Sejauh ini, sejumlah warga di sekitar stasiun membuat lokasi-lokasi ”parkir swasta” untuk memenuhi kebutuhan para pelaju tersebut.

Parkir masih dianggap sebagai penghasil uang semata, bukan sebagai bagian dari sebuah sistem untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi. Bahkan, sejumlah kawasan parkir menjadi lahan-lahan ”basah” bagi sejumlah orang.

Idealnya, perparkiran tak melulu menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Dia harus jadi bagian dari sistem transportasi dan alat untuk membantu memecahkan persoalan kemacetan.

Tarif parkir yang sangat tinggi di sejumlah kota besar dunia terbukti bisa mengendalikan pengguna kendaraan pribadi. Pemiliknya beralih menggunakan angkutan umum yang murah, taat waktu, aman, dan nyaman. Uang dari pengelolaan parkir digunakan untuk perbaikan layanan angkutan umum.

Repotnya, umumnya orang kita masih menjadikan kendaraan pribadi sebagai simbol status. Berapa pun tarif parkir bisa jadi akan mereka bayar. Apalagi pelayanan angkutan umum masih jauh panggang daripada api.

--------

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Jumat, 7 Agustus 2015, dengan judul "Dimanjakan Parkir".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Warung Penjual Petasan di Rawamangun Terbakar, Diduga akibat Gas Bocor

Warung Penjual Petasan di Rawamangun Terbakar, Diduga akibat Gas Bocor

Megapolitan
Ahok Ditawari PDI-P Maju Pilkada Sumut ketimbang Jakarta, Pengamat: Kemungkinan karena Pernah Kalah di Pilkada DKI 2017

Ahok Ditawari PDI-P Maju Pilkada Sumut ketimbang Jakarta, Pengamat: Kemungkinan karena Pernah Kalah di Pilkada DKI 2017

Megapolitan
Mobil Terbakar di Parkiran Kampus Trisakti, Api Menyambar ke Gedung

Mobil Terbakar di Parkiran Kampus Trisakti, Api Menyambar ke Gedung

Megapolitan
PPDB SMA Jakarta 2024: Kuota, Seleksi, Jalur, dan Jadwalnya

PPDB SMA Jakarta 2024: Kuota, Seleksi, Jalur, dan Jadwalnya

Megapolitan
Demo Tolak Revisi UU Penyiaran, AJI Tegaskan Jurnalisme Investigatif Tak Berdampak Buruk

Demo Tolak Revisi UU Penyiaran, AJI Tegaskan Jurnalisme Investigatif Tak Berdampak Buruk

Megapolitan
Pemprov DKI Ingatkan ASN Jaga Komitmen Antikorupsi

Pemprov DKI Ingatkan ASN Jaga Komitmen Antikorupsi

Megapolitan
Ditawari PDI-P Jadi Calon Gubernur Sumatera Utara, Ahok Dijauhkan dari Pilkada Jakarta?

Ditawari PDI-P Jadi Calon Gubernur Sumatera Utara, Ahok Dijauhkan dari Pilkada Jakarta?

Megapolitan
Tolak Revisi UU Penyiaran, AJI: Ini Skenario Besar Pelemahan Demokrasi

Tolak Revisi UU Penyiaran, AJI: Ini Skenario Besar Pelemahan Demokrasi

Megapolitan
Motor Tertemper KRL di Jalur Depok-Citayam, Evakuasi Lama karena Motor Nyangkut

Motor Tertemper KRL di Jalur Depok-Citayam, Evakuasi Lama karena Motor Nyangkut

Megapolitan
Dirjen Hubla Imbau Wisatawan yang Hendak Berlayar ke Kepulauan Seribu Pastikan Keamanan Kapal

Dirjen Hubla Imbau Wisatawan yang Hendak Berlayar ke Kepulauan Seribu Pastikan Keamanan Kapal

Megapolitan
Kisah Agus, Lansia Pengangkut Sampah yang Hanya Terima Rp 500 dari Satu Rumah Setiap Harinya

Kisah Agus, Lansia Pengangkut Sampah yang Hanya Terima Rp 500 dari Satu Rumah Setiap Harinya

Megapolitan
Caleg PKS di Aceh Tamiang yang Terlibat Kasus Narkoba Berstatus Buronan sejak Maret 2024

Caleg PKS di Aceh Tamiang yang Terlibat Kasus Narkoba Berstatus Buronan sejak Maret 2024

Megapolitan
Jalani Rehabilitasi, Tiga ASN Ternate Tak Ditahan meski Jadi Tersangka Kasus Narkoba

Jalani Rehabilitasi, Tiga ASN Ternate Tak Ditahan meski Jadi Tersangka Kasus Narkoba

Megapolitan
Cegah Kecelakaan Kapal, Dirjen Hubla Kemenhub Minta Nakhoda Tak Nekat Berlayar jika Cuaca Buruk

Cegah Kecelakaan Kapal, Dirjen Hubla Kemenhub Minta Nakhoda Tak Nekat Berlayar jika Cuaca Buruk

Megapolitan
Demo Tolak UU Penyiaran, Massa Berkumpul di Depan Gedung DPR

Demo Tolak UU Penyiaran, Massa Berkumpul di Depan Gedung DPR

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com