”Sejak 20 Juli tarif parkir naik Rp 5.000 jam pertama. Rp 4.000 setiap jam berikutnya”.
Kertas selebar HVS bertuliskan pengumuman itu terpasang di jendela kasir parkir di pintu keluar sebuah mal besar di kawasan selatan Jakarta.
Untuk mendapatkan parkir di mal tersebut bukanlah perkara mudah, terutama saat jam makan siang. Apalagi saat akhir pekan. Rupanya tarif baru parkir sebesar itu belum dianggap mahal oleh para pemilik kendaraan pribadi. Setiap lantai parkir penuh.
Sistem perparkiran di Jakarta memang belum menjadi satu cara untuk membuat warga meninggalkan kendaraan pribadinya. Idealnya, pembatasan parkir dengan berbagai cara akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Para pengguna kendaraan pribadi diharapkan beralih ke angkutan umum.
Namun, sejauh ini, kendaraan pribadi memang ”dimanjakan” oleh pengelola kota. Mereka bisa menggunakan kendaraannya dengan leluasa dan ibaratnya bisa parkir di mana saja. Jika tarif parkir di gedung-gedung parkir atau di pinggir jalan (on street parking) dianggap mahal, warga bisa memanfaatkan badan-badan jalan untuk memarkir kendaraan mereka.
Sudah jadi pemandangan biasa jika di tempat-tempat yang tak semestinya, bahkan lengkap dengan tanda larangan parkir, warga bisa dengan leluasa memarkir mobil atau motornya. Di sebuah halte transjakarta di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, misalnya, sejumlah kendaraan bermotor diparkir di atas median jalan. Bisa ditebak, para pemiliknya parkir di situ, lalu melanjutkan perjalanannya dengan bus transjakarta.
Banyak warga di pinggiran Jakarta melakukan langkah praktis seperti itu dengan memarkir kendaraannya di sekitar halte bus, terminal, atau stasiun KA. Bahkan, sejumlah warga memiliki lebih dari satu kendaraan bermotor. Satu kendaraan untuk pergi-pulang dari rumah ke stasiun. Satunya lagi dipakai untuk bergerak dari stasiun/halte tujuan ke kantor. Menurut sejumlah pelakunya, cara itu jauh lebih murah daripada membayar ojek setiap hari.
Tanpa sadar, mereka sudah mempraktikkan park and ride. Persoalannya, bukan perkara mudah untuk mendapatkan tempat parkir di sekitar halte, terminal, atau stasiun. Belum tersedia tempat-tempat parkir yang layak dan berkapasitas cukup di sekitar lokasi-lokasi itu. Sejauh ini, sejumlah warga di sekitar stasiun membuat lokasi-lokasi ”parkir swasta” untuk memenuhi kebutuhan para pelaju tersebut.
Parkir masih dianggap sebagai penghasil uang semata, bukan sebagai bagian dari sebuah sistem untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi. Bahkan, sejumlah kawasan parkir menjadi lahan-lahan ”basah” bagi sejumlah orang.
Idealnya, perparkiran tak melulu menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Dia harus jadi bagian dari sistem transportasi dan alat untuk membantu memecahkan persoalan kemacetan.
Tarif parkir yang sangat tinggi di sejumlah kota besar dunia terbukti bisa mengendalikan pengguna kendaraan pribadi. Pemiliknya beralih menggunakan angkutan umum yang murah, taat waktu, aman, dan nyaman. Uang dari pengelolaan parkir digunakan untuk perbaikan layanan angkutan umum.
Repotnya, umumnya orang kita masih menjadikan kendaraan pribadi sebagai simbol status. Berapa pun tarif parkir bisa jadi akan mereka bayar. Apalagi pelayanan angkutan umum masih jauh panggang daripada api.
--------
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Jumat, 7 Agustus 2015, dengan judul "Dimanjakan Parkir".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.