Lampu besar menyala, memudarkan kerlap-kerlip lampu warna-warni yang bergerak dari lantai ke plafon.
Entah apa yang memicu pertengkaran antara pekerja seks komersial (PSK) itu dan tamunya.
Namun, kegaduhan di ruang diskotek seluas 7 meter x 10 meter itu hanya berlangsung beberapa menit.
Seorang pria pengelola tempat itu dengan tenang datang melerai. Disjoki kembali menghidupkan musik.
Lampu besar dipadamkan. Lampu warna-warni kembali "menari" di antara pengunjung yang juga kembali berjoget.
Seorang pengasong masuk ke lantai dansa menawarkan kerupuk kulit. Pengasong lainnya datang menawarkan bermacam camilan goreng.
Sabtu berganti Minggu (14/2). Waktu menunjukkan pukul 02.00, tetapi semua tempat hiburan malam di kawasan Kalijodo masih ramai oleh suara musik dan pengunjung.
Papan- papan iklan dua merek bir membuat Jalan Pendahuluan II sepanjang 500 meter di tepian Kanal Barat itu terang semarak.
Mendulang rupiah
"Di Jakarta, kawasan Kalijodo menjadi pasar bir terbesar, diikuti kawasan Mangga Besar. Maklum, minuman beralkohol di sini cuma bir. Tak ada jenis minuman beralkohol lain," kata seorang pemasok bir, Sugeng (43), malam itu.
Tak kurang dari 4.000 peti yang masing-masing berisi 24 botol bir habis terjual setiap bulan.
Itu artinya, jika harga sebotol bir seperti malam itu dijual Rp 60.000, omzet bisnis ini per bulan Rp 5,76 miliar.
Tahun 2010-2011, ia pernah memasok bir dari satu merek di Kalijodo.
Untuk itu, perusahaan bir tersebut harus membayar "uang kontrak" setahun senilai Rp 800 juta kepada "otoritas" Kalijodo. Tahun berikutnya, uang kontrak naik menjadi Rp 950 juta.
Namun, ketika uang kontrak naik lagi Rp 1,3 miliar, perusahaan bir yang Sugeng pasok tak sanggup lagi membayar.