JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI, Basri Salama, mendatangi Mapolda Metro Jaya, Kamis (10/11/2016). Kedatangan Basri untuk menjenguk salah satu anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ismail Ibrahim, yang ditahan polisi terkait aksi ricuh pada aksi unjuk rasa pada 4 November 2016.
Basri mengatakan kepada wartawan bahwa Ismail merupakan anak angkatnya. Meski tak memiliki hubungan darah, Basri mengaku mengangkat Ismail sebagai anak karena dia memiliki cita-cita yang tinggi.
"Saya angkat dia sebagai anak angkat karena dia dari keluarga orang kurang mampu dan mempunyai cita-cita besar kuliah di Jakarta. Saya punya kewajiban menampung yang bersangkutan untuk melanjutkan pendidikannya," kata Basri.
Basri menjelaskan, dia mengenal Ismail dari sebuah organisasi mahasiswa asal Tidore. Kebetulan, Ismail berasal dari daerah yang sama dengan dirinya. Setelah mengenal Ismail, Basri menilai dia adalah anak yang baik dan mempunyai cita-cita yang tinggi.
Atas dasar itu, Basri mengangkatnya sebagai anak. Basri menceritakan, Ismail telah tinggal di rumahnya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, kurang lebih selama satu tahun. Saat Ismail ditangkap, Basri mengungkapkan dirinya sedang tidak berada di rumah.
Basri menyayangkan cara polisi menangkap Ismail. Menurut dia, polisi menangkap Ismail secara paksa. Seharusnya, menurut Basri, pihak kepolisian memberitahunya terlebih dahulu dan dia sendiri yang akan mengantarkan Ismail ke polisi.
"Saya kan pejabat negara, semestinya cukuplah beritahu saya. Saya akan mengantar yang bersangkutan kalau dituduhkan. Yang sangat disayangkan penangkapan itu kenapa harus malam hari, sepertinya tidak ada waktu siang," kata Basri.
Dalam demonstrasi4 November 2016 yang berujung ricuh, polisi menetapkan lima orang anggota HMI sebagai tersangka. Mereka adalah Amijaya Halim, Ismail Ibrahim, Rahmat Muni, Romadon Reubun, dan Muhammad Rizki Berkat.
Ami yang merupakan Sekjen HMI, telah dilepaskan oleh polisi meski status masih tersangka. Sementara empat anggota HMI lainnya masih ditahan di Rutan Polda Metro Jaya.
Kelimanya disangka melanggar pasal 212 jo Pasal 214 KUHP. Pasal tersebut mengatur soal kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama tujuh tahun.