JAKARTA, KOMPAS.com - Calon gubernur nomor pemilihan dua DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, menyampaikan alasannya yang terus menolak pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP.
Karena masalah ini, mantan anggota Komisi II DPR RI itu pernah berdebat dengan pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) saat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta.
"Saya bukan menolak proyek e-KTP, saya cuma katakan e-KTP enggak perlu dibuat jadi proyek," kata Ahok di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur, Jumat (10/3/2017).
(Baca juga: Kader Parpol Pengusung Terseret Kasus E-KTP, Ini Kata Tim Ahok-Djarot)
Ahok mengatakan, seharusnya kartu identitas dapat disatukan dengan kartu ATM. Pemerintah dapat bekerja sama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) setempat untuk membuat kartu identitas tersebut.
Pegawai negeri sipil (PNS) DKI Jakarta kini telah memiliki kartu identitas yang terintegrasi dengan kartu ATM.
"Saya waktu jadi wagub juga ngomong begitu kan. Dulu sampai mantan Mendagri agak marah dengan saya," kata Ahok.
Menurut Ahok, pemutakhiran data e-KTP menghabiskan anggaran yang sangat besar.
"Sekarang, KTP bisa buat narik duit enggak? Jadi mana yang lebih bahaya, kasih kamu kartu ATM atau KTP? Jadi maksud saya ngapain bikin sistem lagi, kenapa enggak numpang di bank, datanya, kerja sama," kata Ahok.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut dugaan korupsi pengadaan e-KTP. Kerugian negara akibat pengadaan e-KTP mencapai Rp 2,3 triliun.
Ada dua terdakwa dalam kasus ini, yakni mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman.
(Baca juga: Tjahjo Minta Anak Buahnya yang Jadi Saksi Kasus E-KTP Terbuka)
Adapun Irman didakwa memperkaya diri sebesar Rp 2.371.250.000, 877.700 dollar AS, dan 6.000 dollar Singapura.
Sementara itu, Sugiharto mendapatkan uang sejumlah 3.473.830 dollar AS. Dalam pembacaan dakwaan, banyak pihak yang disebut menerima dana hasil korupsi e-KTP tahun 2011-2012.
Korupsi terjadi sejak proyek itu dalam perencanaan serta melibatkan anggota legislatif, eksekutif, Badan Usaha Milik Negara, dan swasta.