Terjebak isu menengah
Sayangnya, politik anggaran bukan sesuatu yang mudah dikomunikasikan kecuali di tingkat kelas menengah. Hal ini disadari Ahok dengan menggenjot program infrastruktur yang terintegrasi dengan program sosial yang dapat dinikmati masyarakat di kelas bawah.
Dari mana uang program-program itu? Dana tanggung jawab sosial dari swasta (CSR) di luar APBD (non bujeter).
Harapan Ahok jelas, senada dengan James Michael Curley, Wali Kota Boston legendaris di era 1913-1951 yang dikenal dengan kebijakannya mendistribusikan kesejahteraan kepada masyarakat kelas bawah dan membangun Boston sebagai kota yang maju dan manusiawi. Sementara Ahok melokalisasi ide tersebut sebagai program yang menyasar otak, perut dan dompet warga Jakarta.
Pola Curley yang dijuluki Rascal King karena kegarangannya melawan bandit-bandit Boston itu berhasil dan dikenang sebagai Curley Effect, sebaliknya Ahok gagal. Kenapa? Curley diuntungkan dengan posisinya yang lebih dominan secara rasial dan agama. Hal penting yang tidak dimiliki Ahok.
Pada sisi lain, jika kita kembali pada kekerasan sikap Ahok dalam politik anggaran, maka sangat jelas siapa pihak yang selama ini terganggu termasuk tentunya partai penguasa DPRD DKI yang pada tahap awal pencalonan cagub pun bersengketa dengan Ahok. Hanya campur tangan Ibu Ketua Umum partai tersebut yang memaksa "kapak perang" itu dikubur sementara.
Shapiro (2003) menyebut politik redistributif dalam suatu demokrasi yang melibatkan pembagian uang dan barang-barang lain oleh mayoritas yang berkuasa, tidak dapat disangkal. Dengan kondisi seperti ini, sejumlah koalisi akan selalu terbentuk untuk memperkaya diri mereka sendiri atas penderitaan yang lainnya.
Meski demikian, Shapiro mengingatkan bahwa koalisi tersebut akan tidak stabil dalam artian bahwa sejumlah anggotanya mungkin selalu tergoda untuk membentuk koalisi baru dengan mereka yang masih tersingkir dan akan merugikan penerima manfaat yang ada saat ini.
Hal ini tentu disadari oleh seorang Anies Baswedan yang merupakan ahli ilmu politik. Adalah menjadi tantangannya ketika menjadi gubernur untuk mampu konsisten sebagai pemimpin yang amanah, bersih, sekaligus membahagiakan seluruh pihak.
Menariknya, imbas drama selama pilkada sejauh ini masih kental terasa di antara kedua pendukung. Reaksi emosional yang wajar namun akan kontraproduktif ketika gubernur dan wakil gubernur baru mulai bertugas.
Baca juga: Ahok: Saya Sudah Putuskan, Selesai Jadi Gubernur Saya Mau Menjadi...
Pesan Gubernur Ahok dan Wakilnya, Djarot, pada 19 April malam sudah sangat jelas yaitu bekerja sekeras mungkin memenuhi target hingga masa kerjanya berakhir sekaligus memastikan agar gubernur baru, Anies Baswedan dan wakil-nya, Sandiaga Uno, dapat bekerja dengan lancar.
Jadi, sudah saatnya warga DKI melupakan Ahok dan mulai menerima Anies Baswedan mewujudkan janji membahagiakan warga Jakarta dengan segala program plus-plusnya. Menerima pemenang pilkada adalah bagian dari tradisi demokrasi yang baik.
Jika janji-janji sudah terbukti gagal diwujudkan, barulah "hukum" Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berikut partai-partai pendukungnya melalui jalur demokrasi yang beretika, misal pada Pilkada 2021 atau justru Pilpres 2019, bukan dengan cara-cara yang melemahkan demokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.