JAKARTA, KOMPAS.com - Manajemen Grab Indonesia menyarankan para pengemudinya yang tidak setuju dengan larangan penggunaan "fake GPS" untuk berhenti menjalin kemitraan.
Managing Director Grab Indonesia Rizdki Kramadibrata menyatakan, hubungan antara manajemen dan pengemudi tidak bersifat terikat, tetapi kemitraan.
Dengan demikian, pengemudi diberi keleluasaan apabila ingin mengakhiri kemitraan itu kapan saja.
"Apa ada ikatan dari Grab? Apa ketika mereka memutuskan tidak lagi menjadi pengguna, kami bilang tidak bisa? Mereka bisa kapan saja meninggalkan Grab," kata Rizdki di Kantor Grab, Gedung Lippo Kuningan, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (6/7/2017).
(Baca juga: Manajemen Minta Pengemudi Bukan Grab Tak Ikut Mediasi pada 10 Juli)
Saran itu disampaikan Rizdki kepada para pengemudi yang baru saja di-suspend karena kedapatan menggunakan fake GPS.
Dalam penggunaan fake GPS, seorang pengemudi dapat menerima pemesanan dari calon penumpang yang tidak berada di lokasi yang sama dengan dirinya.
Menurut Rizdki, larangan penggunaan fake GPS merupakan kode etik yang tidak boleh dilanggar.
Ia menyebut peraturan mengenai hal tersebut rutin disampaikan kepada para pengemudi, bahkan sejak awal mereka menjalin kemitraan.
Rizdki menegaskan, larangan penggunaan fake GPS bertujuan mempertahankan kualitas layanan dan mencegah dirugikannya penumpang dan pengemudi lain yang bekerja dengan jujur.
"Sehingga ketika mereka menuntut hapus kode etik. Padahal kode etik dibuat untuk melindungi penumpang. Kalau tidak setuju dengan kode etik ini, simpel, keluar. Tidak usah pakai Grab," ujar Rizdki.
(Baca juga: Manajemen Grab Sebut Banyak Pengunjuk Rasa yang Bukan Pengemudinya)
Ia menegaskan, manajemen Grab tidak berkenan bermitra dengan pengemudi yang tidak mau menghormati penumpang dan rekannya sesama mitra pengemudi lainnya.
"Kalau ada yang tidak setuju, silahkan saja menggunakan platform lain yang menutut mereka lebih ringan persyaratannya," kata Rizdki.