Gugatan tersebut dilayangkan pada 27 Januari 2017 lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ketua Fakta Azas Tigor Nainggolan menyebut, dalam melakukan penggusuran, Pemprov DKI tak pernah memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang jelas.
Tigor mengatakan, hingga saat ini belum ada SOP yang mengatur penggusuran secara teknis, termasuk Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Padahal, ketika Perda itu disahkan, Tigor mengaku sudah mengusulkan agar dibuat peraturan turunannya.
"Waktu pembuatan Perda Tibum kami juga diajak. Kami sudah usulkan kepada satpol PP, kita bikin yuk regulasi turunannya dari perda ini, pergub. Enggak ada respons," ujar Tigor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (13/7/2017).
Menurut Tigor, baik perda maupun surat peringatan hanyalah dasar hukum penggusuran, tetapi bukan SOP yang bisa mengatur hak dan kewajiban Pemprov dengan korban gusuran.
SOP yang layak seharusnya bisa mengatur batas waktu sosialisasi serta jaminan tempat tinggal, pekerjaan, sekolah, dan kesehatan.
Hal yang paling utama, kata dia, penyusunan SOP harus melibatkan masyarakat, Komnas HAM, hingga LSM seperti Fakta.
Tigor menilai, dampak ketiadaan SOP ini sudah sering terlihat, seperti bentrokan fisik, penolakan, hingga gugatan hukum warga Bukit Duri yang menang di tingkat pertama.
Lebih jauh lagi, dampak terberat dirasakan sendiri oleh warga. Menurut dia, biaya dan beban hidup warga cenderung semakin berat setelah digusur.
"Mereka dipindahkan ke rusun, tercabut dari akarnya. Mereka biasa jalan kaki, sekarang keluar ongkos," kata Tigor.
Sebagian rusun yang dibangun Pemprov dianggap terlalu jauh dari tempat tinggal awal warga. Lokasinya yang jauh dari pusat kota dan belum berkembang juga dianggap menyulitkan.
"Paling yang agak lumayan dari Kampung Pulo pindah ke Kampung Melayu. Sebetulnya idealnya kan dia jangan pindah jauh-jauh dia, kalau jauh pasti ada problem tadi. Ini yang kita minta, kita tidak menolak adanya perbaikan kota tapi kita harus tahu ini kan memindahkan manusia," ujar Tigor.
Kata Djarot
Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat bereaksi santai ketika tahu soal gugatan ini. Jika gugatan dimenangkan pengadilan, siapa pun yang menjabat gubernur saat itu diperintahkan untuk meminta maaf kepada warga tergusur di minimal enam media nasional, baik cetak, radio, dan televisi.
Djarot mengatakan, surat peringatan dan perda sudah cukup sebagai SOP pihaknya melakukan penertiban. Apa yang disediakan Pemprov bagi warga tergusur, kata Djarot sudah cukup.
"Waduh hebat banget. Dia saja suruh siapin semua itu. Semuanya ada aturannya kok dan lagi sekali lagi loh, kami enggak menggusur. Kami merelokasi loh," ujar Djarot di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis.
Hal senada disampaikan Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah. Ia menyampaikan, pelayanan yang diberikan Pemprov DKI Jakarta kepada masyarakat yang ditertibkan sudah luar biasa.
"Saya pikir sudah luar biasa ini service pemerintah DKI kepada masyarakat (yang ditertibkan)," ujar Saefullah. Ia mencontohkan penertiban yang dilakukan di Bukit Duri, Jakarta Selatan, pada Selasa (11/7/2017).
Penertiban di Bukit Duri yang dilakukan Selasa (11/7/2017) itu berjalan lancar dan tanpa perlawanan warga.
"Yang kemarin dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Selatan itu kan sangat arif, sekolah mereka diurus, akomodasinya dibantu. Jadi apa lagi? Nanti identitas kependudukannya juga dipenuhi ya," kata dia.
Selain itu, sebelum melakukan penertiban, Pemprov DKI Jakarta menyiapkan rumah susun untuk warga terdampak relokasi.
Pemprov DKI juga memberikan jaminan kesehatan. "Kesehatan sudah melekat di BPJS, apalagi begitu lho?" ucap Saefullah.
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/07/14/08312731/menempuh-langkah-hukum-untuk-penggusuran-yang-lebih-baik-