Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melarang bemo beroperasi melalui Surat Edaran Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nomor 84 Tahun 2017. Alasannya, bemo dianggap bukan lagi sebagai angkutan umum, kurang aman, dan tidak memiliki surat tanda nomor kendaraan (STNK) bermotor.
Setelah keluarnya larangan itu, operasi "membersihkan" bemo dari Ibu Kota digelar di beberapa titik.
(baca: "Bemo Itu yang Bikin Istri dan Tiga Anak Saya Sekarang Bisa Makan")
Masih bertahan
Meski razia terhadap Bemo sudah sering dilakukan, delapan pengemudi bemo rute Pejompongan-Bendungan Hilir masih bertahan.
"Sekarang tinggal delapan, padahal dulunya ada 80 hingga 85 unit bemo yang beroperasi di kawasan ini," ujar seorang pengemudi bemo, Ilip, saat ditemui di Pejompongan, Jakarta Pusat, Selasa (15/8/2017).
Pemprov DKI telah menyarankan para pengemudi bemo beralih mengemudikan bajaj roda empat alias bajaj qute yang telah diuji coba beberapa waktu lalu. Tapi, para sopir bemo itu masih enggan beralih mengemudikan bajaj qute karena uang setorannya jauh lebih tinggi dari bemo.
Ilip menjelaskan, pengemudi bemo harus menyetor Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per hari kepada pemilik, sedangkan pengemudi bajaj qute harus menyetor hingga Rp 125.000 per hari.
Padahal, bajaj qute hanya bisa mengangkut empat penumpang untuk sekali putar.
"Kalau nyopir bemo kan lebih enak, penumpang bisa enam, lebih banyak," kata Ilip.
Boyong bemo ke kampung
Banyak pemilik tidak rela jika bemonya diserahkan ke Dinas Perhubungan DKI karena hanya akan diganti dengan uang Rp 1 juta hingga Rp 2 juta, tergantung kondisi kendaraan itu.
Sejumlah pemilik bemo memilih membawa bemo-bemonya ke kampung halaman untuk dijual kepada kolektor atau pengusaha restoran yang akan menjadikan bemo-bemo tersebut sebagai pajangan antik.
Seorang pengemudi bemo mengatakan, kolektor dari luar Jakarta bahkan pernah membeli satu unit bemo dengan harga Rp 30 juta.
"Kalau mau dijual ke pengusaha atau kolektor tidak masalah. Asal saja mereka bisa memastikan bemo itu hanya untuk pajangan dan tidak dioperasikan untuk angkutan umum lagi," kata Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko.
(baca: "Sebelum Saya Mati, Saya Akan Tetap Buka Toko Onderdil Bemo Ini")
Nasib penjual onderdil bemo
Dilarangnya bemo beroperasi di Ibu Kota juga berdampak pada lesunya usaha onderdil bemo di gang IV nomor 14, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, milik Neneng (82).
Meski bemo sudah dilarang, Neneng tetap memajang dagangannya di etalase. Dia mengaku telah merintis toko onderdil bemo itu sejak sekitar 50 tahun yang lalu bersama almarhum suaminya.
Saat usahanya ramai dikunjungi pelanggan, Neneng sanggup membiayai pendidikan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Namun kini, dagangannya sepi pembeli.
Bahkan pada awal 201 7, Neneng menjual onderdil bemo secara kiloan. Dia juga tidak mampu menambah onderdil yang akan dijual, dan hanya berjualan mulai pukul 06.00-12.00 WIB.
"Saya enggak tahu akan mati hari ini, besok atau lusa. Tapi sebelum saya mati, saya akan tetap membuka toko onderdil (bemo) ini," ujar Neneng, Rabu (16/8/2017).
(baca: Hanya Pengusaha Bemo Boleh Beli Bajaj Qute, Bagaimana Mekanismenya?)
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/08/20/09081591/akhir-perjalanan-bemo-di-ibu-kota-