"Sampai sekarang kok air bayarnya makin naik. Padahal saya di rumah cuma berdua sama cucu, itu juga masih kecil 10 tahun. Di rumah lain isi (anggota keluarga) nya lebih banyak dari saya, malah murah," kata Mulyani (68) kepada Kompas.com pada Kamis (1/3/2018).
Mulyani mengatakan, kalau sejak tagihan pertama lalu, ia tercatat terkena biaya sebesar Rp 9.450 untuk 9 meter kubik dan masih masuk hitungan subsidi alias gratis.
Sementara pada Januari 2018 dikenakan bayaran Rp 99.000 untuk 22 meter kubik dan Rp 127.700 untuk 26 meter kubik pada Febuari 2018.
Ia mengaku penggunaan air hanya dipakai untuk mandi, cuci piring dan mencuci baju. Sementara untuk masak ia memilih untuk beli air galon isi ulang seharga Rp 6.000.
"Air sini enggak bisa buat masak. Saya pernah coba buat masak nasi, airnya saya endepin dulu malah kayak ada kotoran yang ngambang. Pas dibersihin (kotorannya) di nasi hasilnya malah enggak enak, agak bau gitu," jelas Mulyani penghuni Blok D lantai 2.
Sementara Suleha (65), penghuni di lokasi yang sama ikut merasakan kejanggalan dengan tagihan tetangganya yang lebih kecil dibanding keluarganya.
Rumah Suleha dihuni oleh lima anggota keluarga, dirinya sendiri, anak dan menantu yang bekerja, serta dua orang cucu yang bersekolah dan balita.
"Ada yang tujuh (anggota) keluarga tapi bayarnya Rp 20.000-an. Saya lima orang bayar hampir Rp 200.000," kata Suleha.
Pada tagihan terakhir yaitu Febuari 2018, keluarganya dikenakan biaya Rp 137.150 untuk 27 meter kubik. Tagihan keluarga Suleha dengan lima anggota keluarga lebih murah dibanding Mulyani dengan dua orang anggota dan penggunaan sama.
Penghuni lain di blok B lantai 2, Sulis 34, juga mengakui kalau tarif airnya lebih murah dan penggunaannya tercatat lebih sedikit dibanding tempat lainnya. Ia tinggal bertujuh dengan tiga orang anak, seorang ibu, dan dua orang adiknya.
Namun, untuk pembayaran air, keluarganya dikenakan Rp 25.400 untuk 12 meter kubik dengan tujuh anggota keluarga pada Febuari 2018.
"Kalau bayar sekalian sama sewa. Kalau di lantai 2 semuanya kan kena Rp 281.000 (per bulan) tambah saja sama itungan air. Langsung deh dipotong di ATM bank," katanya.
Penghuni rumah susun memiliki kartu ATM Bank DKI masing-masing dan terdaftar untuk pembayaran uang sewa serta air selain tabungan mereka. Lewat kartu tersebut, pihak pengelola akan memotong pembayaran pada waktu penagihan setiap awal bulan.
Aturan pembayaran air untuk rumah susun berdasar pada peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta nomor 91 tahun 2017 tentang Penyesuaian Tarif Air yang dikeluarkan pada Oktober tahun lalu. Sebelumnya, warga mendapat subsidi air seharga Rp 1.050 per meter kubik dengan maksimal penggunaan 10 meter kubik per bulan.
Keluhkan kualitas air
Selain perbedaan harga dengan tetangganya, warga mengeluhkan kualitas air. Suleha merasakan perbedaan kualitas air sejak tiga tahun lalu tinggal di sini dan saat ini. Ia adalah salah seorang penghuni hasil relokasi rumah di kawasan Palmerah.
"Dulu itu airnya masih kuning, ke cucian juga gitu. Malah ada kayak ulet-ulet kecil. Sekarang emang udah bersih (dan) bening tapi airnya licin kalau ke kulit bikin gatel, kadang bau kaporit. Buat cuci baju sih aman enggak ada kuning nodanya, mungkin dari (kaporit) itu kali ya," jelas Suleha.
Hal senada dikatan Sulis. Ia memilih menggunakan air dari rusun hanya untuk mandi dan mencuci serta usaha warung kopinya di lantai bawah. Sementara untuk masak, ia membeli air galon.
"Kalau untuk warung airnya ambil dari selang di taman aja. Enggak bayar dan enggak kena bayaran sewa," kata Sulis.
Yulis, Tata Usaha Rusun Pesakih mengatakan kalau di kantor pengelola rusun telah menerima keluhan penghuni terkait biaya air yang berbeda-beda dan masalah kualitas air.
"Sekarang yang lagi banyak protes soal bayaran air sejak sudah tidak subsidi lagi. Kita kan menghitung tagihan berdasarkan meteran," kata Yulis.
Petugas melakukan pengecekan meteran yang kemudian menuliskan harga serta ukuran per meter kubik pada lembar yang tertempel di jendela masing-masing rumah.
Keluhan terkait kualitas air juga telah diterima oleh kantor pengelola, tapi ia mengaku tak merasakan hal serupa dengan penghuni rusun.
"Ada yang bilang badannya gatal-gatal sama air di sini. Tapi kami di sini pakai air enggak apa-apa padahal sama aja," tambah Yuli.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/03/02/05220021/curhat-penghuni-rusun-pesakih-soal-tarif-air-yang-berbeda-beda