Arak-arakan dimulai dari Pura Agung Satya Bhuana menuju Jalan Tanah Abang II, Jalan Abdul Muis, Jalan Suryopranoto, dan berakhir di pura kembali.
Berdasarkan pantauan Kompas.com, warga tampak antusias menyaksikan pawai ogoh-ogoh tersebut.
Walaupun hujan gerimis mengguyur, warga tetap menunggu pawai dilakukan.
Ada yang menunggu di bawah pohon untuk menghindari hujan, ada pula yang memilih menunggu di depan pura menggunakan payung.
Sebelum ogoh-ogoh diarak, jemaah pura tampak berdoa terlebih dahulu.
Kemudian, tiga ogoh-ogoh keluar dari pura pada pukul 17.30.
Dalam kebudayaan Bali, kepribadian Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan, biasanya dalam wujud raksasa.
Alunan musik menyemarakkan arak-arakan ogoh-ogoh tersebut.
Masyarakat terpantau mengambil foto ogoh-ogoh saat pawai berlangsung.
Pengendara kendaraan bermotor juga antusias mengambil gambar.
Koordinator pawai ogoh-ogoh, I Kadek Mustika mengatakan, pawai ogoh-ogoh merupakan bentuk tradisi perayaan Nyepi umat Hindu.
"Pawai ogoh-ogoh ini diharapkan dapat menetralisir unsur negatif dan menyeimbangkan alam ini," kata I Made kepada Kompas.com.
I Made menjelaskan, ogoh-ogoh memang dibuat dengan wajah menyeramkan untuk merepresentasikan sifat buruk manusia.
"(Ogoh-ogoh) berbentuk raksasa dan bermuka seram sebagai perwujudan sifat-sifat buruk manusia. Nah ini diharapkan nanti sifat buruk itu bisa terserap sehingga dunia menjadi netral dan damai," ujar I Made.
"Setelah diarak, ogoh-ogoh akan kita bakar secara simbolis saja. Kita, kan, berada di kota besar, banyak kabel listrik, jadi tidak mungkin dibakar seperti tradisi di Bali," katanya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/03/06/21150241/warga-antusias-menikmati-pawai-ogoh-ogoh-di-jakarta