Keadaan itu, menurut dia, rawan memicu kekerasan seksual terhadap perempuan.
"Sejauh ini ruang-ruang publik kita, di Jakarta, belum sepenuhnya aman bagi perempuan terutama di malam hari. Dukungan fasilitas infrastruktur lainnya, penerangan, misalnya, masih kurang. Tempat-tempat yang cukup gelap dilalui perempuan, rawan terjadi kekerasan seksual," kata Azriana di kantornya, Rabu (24/4/2019).
Azriana mengatakan, dukungan infrastruktur mutlak diperlukan sebagai syarat dasar terciptanya ruang publik yang ramah perempuan.
Sejauh ini, ia mengapresiasi iktikad pemerintah mewujudkan hal tersebut, kendati masih jauh dari sempurna.
"Akses untuk melapor ke polisi, misalnya jika terjadi kasus kekerasan seksual, jauh. Tidak begitu mudah," ujakata dia memberi contoh.
Ia juga menyoroti minimnya terobosan pemerintah dalam mengubah cara-cara pandang yang selama ini menyuburkan praktik kekerasan seksual terhadap perempuan. Azriana beranggapan, pemerintah terlalu berfokus pada penanganan dan pencegahan secara fisik.
"Misalnya satu hal yang perlu kita kritik, pemisahan gerbong atau ruang khusus perempuan di transportasi umum. Kami berharap, itu saja tidak cukup karena kami mau sampai kapan misahin ruang?" ujat dia.
Azriana berharap, pemerintah sanggup menggenjot upaya-upaya edukasi secara luas ketimbang semata bertumpu pada pembenahan infrastruktur. Pembenahan infrastruktur penting tetapi tidak serta-merta memberantas potensi kekerasan.
"Pemisahan gerbong atau ruang itu sementara sifatnya, sambil mengedukasi, supaya kita juga bisa memastikan ada cara pandang yang berubah," kata dia.
"Yang perlu dipastikan, bukan saja sudah dipisah gerbongnya, sudah baik trotoarnya, atau sudah terang jalanannya, tetapi juga bagaimana, lagi-lagi, balik ke perilaku. Orang kalau tidak berubah mindset-nya, infrastruktur pun jadi tidak berguna juga," ujar dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/04/24/19083321/ruang-publik-di-jakarta-dinilai-belum-ramah-perempuan