Salin Artikel

Dari Kampung Orang Portugis Jadi Gudang Kontainer, Rupamu Kini Kampung Tugu

"Wah cepat sekali menemukan lokasi kami (Kampung Tugu)," sambut Lucky Michiels (54) yang merupakan penghuni rumah asli Portugis berusia 250 tahun itu ketika ditemui Kompas.com  pekan lalu.

Memang tidak terlihat ornamen penghias atau penunjuk arah yang tetap untuk mencapai ke Kampung Tugu. Pengunjung hanya bisa mengandalkan maps dan bertanya ke warga sekitar terkait lokasi Kampung Tugu ini.

"Tahun lalu pas Pak Bambang, Walkot Jakut, bikin (program) 13 destinasi. Dia berpikir ingin menata kembali. Tapi dia ditarik Jokowi, jadi rencana itu enggak berjalan. Dia salah satu Walkot yang memperhatikan budaya dan Kampung Tugu," ujar Arthur James Michiels (50), keturunan ke-10 dari Letnan Mardijiker, Jonathan Michiels.

Kampung Tugu dulunya digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk menempatkan para Mardijkers. Mardijkers ini merupakan istilah bagi tawanan perang yang telah dibebaskan dengan syarat tertentu. Mereka dibawa dari wilayah jajahan Portugis ke Batavia oleh pemerintah Hindia Belanda. 

Di kampung kecil ini lah lahir anak-anak percampuran Betawi dan Portugis. Maka dari itu, saat datang ke kampung ini, Anda akan dengan mudah menjumpai laki-laki dan perempuan dengan paras seperti "orang barat". 

Warga Kampung Tugu kini hanya tersisa sekitar 150 orang dan dari 23 marga hanya 7 marga yang tersisa. Hal ini disebabkan karena masuknya perindustrian ke daerah tersebut. Warga Kampung Tugu memilih untuk melepas tanahnya dan hijrah ke tempat lain.

Selain itu, karena terdapat sistem patriarki, apabila keturunan tidak mempunyai anak laki-laki maka habislah keturunannya.

"Lihat saja sudah bukan Kampung Tugu lagi, sudah jadi Kampung Transformers," ujar Rara Agusta (27) yang juga meninggali rumah asli Portugis itu.

Memang terlihat banyak truk-truk kontainer lalu lalang di jalan persis depan rumah Portugis tersebut. Membuat suasananya kering dan gersang, terlalu banyak debu bertebaran di daerah itu.

Sulit pertahankan budaya

Arthur bercerita bahwa pemerintah kota kurang memperhatikan Kampung Tugu dan peninggalannya. Padahal, menurut dia, peninggalan Portugis di daerah ini sangat lengkap, dari orangnya, makanan, alat musik, hingga bangunan. 

"Kemarin kami Krontjong Toegoe pun ke forum internasional di Malaka tidak dibiayai. Padahal budaya kroncong merupakan peninggalan sini, Kampung Tugu" kata Arthur.

Ia mengaku sangat kesusahan untuk mempertahankan budaya-budaya yang diturunkan oleh moyangnya lantaran bantuan dan dukungan yang didapat dari pihak luar sangat minim.

"Di Tugu, kita keturunan Portugis ini sudah sangat jarang berbahasa Portugis. Saya sendiri juga kurang, namun masih bisa apabila diajak berbicara" kata dia.

Di rumah yang berusia 250 tahun itu, Arthur bersama keluarganya tinggal. Pada atas pintu masuk terdapat tapal kuda yang menurut budaya Portugis untuk menangkal bala.

Terlihat bangunannya sudah lebih rendah daripada tanah di depannya. Sehingga ketika hujan, air pun masuk.

"Banjir nih sedengkul dewasa. Itu ada batasnya kan terlihat bekas air," kata Arthur.

Selain rumah Arthur, satu lagi bangunan asli Portugis di Kampung Tugu adalah Gereja Tugu. Hanya tersisa dua bangunan asli dari masa Portugis yang tetap berdiri hingga saat ini.

Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan lagi peninggalan sejarah seperti Kampung Tugu ini, seperti perawatannya dan pemasarannya.

"Kalau pemerintah enggak turun tangan ya susah, kita selalu berusaha semaksimal kami. Banyak sekali yang sudah kami lakukan di sini," kata Arthur.

https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/16/06060081/dari-kampung-orang-portugis-jadi-gudang-kontainer-rupamu-kini-kampung

Terkini Lainnya

Pengamat: Jika Ahok Diperintahkan PDI-P Maju Pilkada Sumut, Suka Tak Suka Harus Nurut

Pengamat: Jika Ahok Diperintahkan PDI-P Maju Pilkada Sumut, Suka Tak Suka Harus Nurut

Megapolitan
Pria Tanpa Identitas Ditemukan Tewas Dalam Toren Air di Pondok Aren

Pria Tanpa Identitas Ditemukan Tewas Dalam Toren Air di Pondok Aren

Megapolitan
Polisi Dalami Keterlibatan Caleg PKS yang Bisnis Sabu di Aceh dengan Fredy Pratama

Polisi Dalami Keterlibatan Caleg PKS yang Bisnis Sabu di Aceh dengan Fredy Pratama

Megapolitan
Temui Komnas HAM, Kuasa Hukum Sebut Keluarga Vina Trauma Berat

Temui Komnas HAM, Kuasa Hukum Sebut Keluarga Vina Trauma Berat

Megapolitan
NIK KTP Bakal Jadi Nomor SIM Mulai 2025

NIK KTP Bakal Jadi Nomor SIM Mulai 2025

Megapolitan
Polisi Buru Penyuplai Sabu untuk Caleg PKS di Aceh

Polisi Buru Penyuplai Sabu untuk Caleg PKS di Aceh

Megapolitan
Tiang Keropos di Cilodong Depok Sudah Bertahun-tahun, Warga Belum Melapor

Tiang Keropos di Cilodong Depok Sudah Bertahun-tahun, Warga Belum Melapor

Megapolitan
Polri Berencana Luncurkan SIM C2 Tahun Depan

Polri Berencana Luncurkan SIM C2 Tahun Depan

Megapolitan
Caleg PKS Terjerat Kasus Narkoba di Aceh, Kabur dan Tinggalkan Istri yang Hamil

Caleg PKS Terjerat Kasus Narkoba di Aceh, Kabur dan Tinggalkan Istri yang Hamil

Megapolitan
'Call Center' Posko PPDB Tak Bisa Dihubungi, Disdik DKI: Mohon Maaf, Jelek Menurut Saya

"Call Center" Posko PPDB Tak Bisa Dihubungi, Disdik DKI: Mohon Maaf, Jelek Menurut Saya

Megapolitan
Polisi: Ada Oknum Pengacara yang Pakai Pelat Palsu DPR

Polisi: Ada Oknum Pengacara yang Pakai Pelat Palsu DPR

Megapolitan
Pemprov DKI Razia 2.070 Pengemis dan Gelandangan Sejak Awal 2024

Pemprov DKI Razia 2.070 Pengemis dan Gelandangan Sejak Awal 2024

Megapolitan
Caleg PKS Asal Aceh Dapat Sabu dari Malaysia, Dikemas Bungkus Teh China

Caleg PKS Asal Aceh Dapat Sabu dari Malaysia, Dikemas Bungkus Teh China

Megapolitan
KAI Commuter Line: Tak Ada Korban Dalam Kecelakaan KRL dan Sepeda Motor di Ratu Jaya Depok

KAI Commuter Line: Tak Ada Korban Dalam Kecelakaan KRL dan Sepeda Motor di Ratu Jaya Depok

Megapolitan
Banyak Remaja Nongkrong di Bundaran HI hingga Dini Hari, Polisi Minta Orangtua Awasi

Banyak Remaja Nongkrong di Bundaran HI hingga Dini Hari, Polisi Minta Orangtua Awasi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke