JAKARTA, KOMPAS.com - Berpuluh-puluh tahun hidup di Jakarta menjadi pemulung, tentu tidak mudah bagi Budiyono.
Sejak muda dia terpaksa merantau ke Jakarta berharap mendapat hidup lebih baik. Sekitar tahun 1990-an, dia datang seorang diri.
Dengan bermodalkan ijazah SD, dia nekat bertahan hidup sendiri di Jakarta. Hingga kini, dia juga harus membiayai istri dan anaknya yang masih SMP di kampungnya.
Di kolong flyover Slipi, Jakarta Barat kini dia tinggal. Saat ditemui Kompas.com, Budiyono sedang beristirahat.
"Siang ini masih sepi, saya istirahat dulu (dari memulung)," katanya pada Kamis (25/07/2019).
Sambil istirahat, dia bercerita tentang kesehariannya. Dia mengatakan, dalam sehari jika beruntung dia bisa mendapatkan Rp 100.000. Tapi, jika tidak dia hanya mendapatkan Rp 50.000.
Uang itu harus cukup untuk kehidupannya di Jakarta dan untuk mengirim ke keluarganya di kampung setiap bulan.
"Kadang kalau lagi sepi, dan anak lagi butuh uang, saya mengalah untuk enggak makan, atau makan sekali saja yang penting perut terisi," kata pria 44 tahun itu.
Apalagi, menurut dia, kebutuhan hidup di Jakarta semakin meningkat. Namun, pendapatannya tidak juga meningkat.
Budiyono mengatakan keluarga di kampung tahu pekerjaan dan tempat tinggalnya seperti apa di Jakarta. Namun, kembali ke kampungnya bukan pilihan yang tepat baginya.
"Di kampung mau kerja apa. Lagipula saya sudah biasa kerja di sini. Keluarga saya juga nggak apa begini," katanya.
Yang jelas, Budiyono akan berjuang agar anaknya tetap sekolah. Sebab, orangtua mana yang tidak ingin anaknya sukses, termasuk Budiyono.
"Saya enggak mau anak saya tinggal di jalan begini, saya mau anak saya lebih sukses dari saya. Sekolah yang tinggi, saya akan usahakan," kata dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/26/06060061/budiyono-kisah-pemulung-yang-bertahan-hidup-di-kolong-jembatan-jakarta