Hanya mengenakan sarung dan kaos, Muzamil bolak balik mengambil termos dan air untuk diletakkan di keranjang.
Beberapa kali ia melirik jam di ponselnya.
"Oh masih lama jam saya jualan, Mbak," kata Muzamil kepada Kompas.com.
Pria 30 tahun itu merupakan satu dari ratusan pedagang kopi keliling yang bermukim di kawasan pedagang kopi keliling di Jalan Prapatan Baru, Senen, Jakarta Pusat.
Ia biasa berdagang dari pukul 16.00 hingga 01.00 WIB dini hari.
Muzamil, sama seperti pedagang kopi lainnya di tempat itu, berasal dari Madura, Jawa Timur.
Dengan logat Madura yang kental, ia bercerita sudah delapan tahun merantau ke Jakarta.
"Orang sering bilang ini Starling ya, Mbak. Katanya kayak kopi mahal itu tapi pakai sepeda," ujarnya.
Para pedagang kopi keliling memang biasa disebut starling, atau starbucks keliling.
Starbucks merupakan jaringan kopi asal Amerika Serikat (AS).
Muzamil merantau dari kampungnya di Madura untuk mencari kehidupan yang layak di Jakarta. Ia meninggalkan istri dan anaknya sejak 2011.
Pendapatan
Muzamil bersyukur lantaran pendapatannya sebagai pedagang Starling terbilang cukup.
Sehari-hari ia meraup untung Rp 200.000 hingga Rp 350.000.
Namun kadang kala jika sepi ia berpuas dengan hanya mendapat Rp 50.000.
"Namanya rezeki beda-beda ya. Pernah Rp 50 ribu saja tapi rata-rata Rp 250 ribu sampai 350 ribu," ucap Muzamil
Sehari-hari ia berdagang di sekitar Plaza Atrium, Senen.
"Apalagi sekarang sudah banyak pedagangnya, jadi berbagi penghasilan," lanjut dia.
Untungnya, Muzamil tak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal. Mereka diberi tempat tinggal oleh agen kopi. Ia hanya perlu menambah ongkos listrik setiap bulannya.
Menurut dia, tak ada aturan yang melarang ia berdagang minuman keliling.
"Lagian saya bukan jualan di trotoar, kadang-kadang sudah sembunyi-sembunyi juga, keliling sana-sini," kisahnya.
Selama itu pula tercatat ia pernah dua kali ditangkap Satpol PP karena dinilai berdagang sembarangan.
"Pernah dua kali, Mbak, ditahan sebentar, terus dikasih surat peringatan. Saya agak bingung sih," lanjut Muzamil.
Namun Muzamil tak kapok, ia terus menjajakan dagangannya.
Demo memberi rezeki
"Nanti siang ada demo Mas dari mahasiswa, di depan Istana, enggak jualan di sana?" tanya saya.
"Wah pasti jualan dong. Itu justru paling kami tunggu," kata pedagang lainnya, Sulaiman. .
Menurut Sulaiman, para pedagang Starling paling semangat jika berdagang di tengah massa demonstran.
Bukan apa-apa, tetapi hal tersebut menjadi lahan basah bagi mereka.
Sulaiman hampir selalu berdagang saat demonstrasi besar seperti demo 212, demo 21 dan 22 Mei 2019 di Bawaslu, serta demo mahasiswa pada 23 hingga 24 Mei 2019.
"Kalau massanya banyak itu laku sampai Rp 2 juta soalnya,Mbak. Saya pernah tuh sampai habis. Kalau demonya sepi kan enggak enak juga," ucap Sulaiman.
Namun berdagang saat demonstrasi besar rentan rusuh dan kerap terkena gas air mata.
Modal Rp 1,5 juta
Sama seperti Muzamil, Sulaiman juga datang dari Madura. Bedanya, ia baru empat tahun di Jakarta.
Modal yang dibawa pun terbilang pas-pasan saat itu, hanya Rp 1,5 juta.
Ia lalu membeli sepeda seharga Rp 800.000 di kawasan Ancol, ditambah dengan peralatan dagang seperti keranjang, kotak, dan termos.
"Totalnya habis Rp 1,2 juta, nah sisanya buat pegangan," ungkap Sulaiman.
Sulaiman berdagang sejak pukul 13.00 hingga 22.00 WIB. Sisanya ia akan istirahat dan mengecek dagangannya.
Selama di Jakarta, Sulaiman berteman baik dengan Muzamil. Mereka kerap berkeluh kesah bersama jika teringat kampung halaman.
Keduanya hanya bisa kembali ke kampung saat Idul Fitri.
"Lebaran sudah pasti balik. Kangen kampung juga kan," kata dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/17/21023601/kisah-warga-kampung-starling-demo-bawa-rezeki-dan-satpol-pp-paling