Salin Artikel

Inspirasi Rumah Panggung Milik Warga Kelapa Gading, Bebas Banjir dan Hemat Air PAM

JAKARTA, KOMPAS.com - Kawasan Kelapa Gading merupakan salah satu wilayah yang paling rawan banjir di Jakarta. Hampir setiap hujan deras mendera, banjir menggenangi rumah warga.

Banjir bukan hari ini saja terjadi, tetapi sudah berpuluh-puluh tahun lalu karena memang dulunya Kelapa Gading adalah rawa-rawa.

Bagas Sweta Bhaskara merupakan salah satu warga yang jadi saksi semakin parahnya banjir Kelapa Gading.

Ia mengaku sudah tinggal di Kelapa Gading sejak tahun 1982 bersama dengan keluarga besarnya.

"Jadi kami sekeluarga tinggal di sini sama Bapak Ibu itu tahun 1982-an. Dulu kita di tengah agak tinggi. Belum banyak bangunan-bangunan. Masih rawa-rawa dan sawah semua," kata Bagas saat ditemui di kediamannya.

Saat itu pun banjir sudah sering menggenangi kawasan Kelapa Gading. Namun, kala itu, saat musim hujan, banjir hanya menggenangi jalanan tak sampai ke kediaman.

Perlahan, kawasan Kelapa Gading mulai jadi sasaran pembangunan. Warga menguruk tanah basah Kelapa Gading untuk membangun rumah, toko, dan mal-mal seperti yang terlihat di hari ini.

Pembangunan-pembangunan itu pula yang membuat banjir Kelapa Gading semakin sering terjadi dan semakin tinggi.

Sekitar tahun 2002-2003, banjir besar menenggelamkan Kawasan Kelapa Gading. Air yang semula jarang sampai masuk ke rumah Bagas, lain cerita di hari itu.

"Koleksi buku dulu sekitar 20-30 persen rusak lah. Rak buku, kan bagian bawahnya itu tertutup nah dari situ udah kenak banjir," ucap Bagas.

Saat itu lah mulai muncul ide untuk meninggikan rumah. Tapi, ide yang muncul hanya meningkatkan rumah menjadi beberapa lantai untuk mengamankan barang-barang. Namun, ide itu masih urung terwujud karena terkendala dana.

Belum sempat berbuat apa-apa, pada tahun 2005 rumah Bagas kembali terendam banjir.


"Kami menduga itu ada (bangunan) yang lebih tinggi. Gampangnya di depan mal (Kelapa Gading) itu kan ada Puskesmas itu udah lebih tinggi. Waktu itu kayaknya MOI belum ada, apa baru dibangun tapi sudah mulai ditinggiin,"ucap Bagas.

Setelah saat itu, Bagas melakukan solusi sementara dengan menaikkan barang-barang yang gampang rusak apabila terendam air ke loteng. Hal itu ia lakukan karena masih terbatasnya dana untuk merenovasi rumah.

Sekitar tahun 2015, Bagas sempat bekerja di daerah Kalimantan yang cukup sering terendam banjir. Dari situ ia terkagum melihat permukiman rumah warga yang didominasi dengan bangunan rumah panggung.

"Kemudian ada saudara-saudara juga yang tinggal di Padang, Aceh jadi mereka banyak cerita di sana rumah panggung itu selain tahan banjir juga tahan gempa. Waktu tsunami (Aceh) juga banyak yang aman entah gimana,"ujar Bagas.

Dari sejumlah inspirasi itulah Bagas memantapkan hati untuk merenovasi rumahnya menjadi rumah panggung.

Kesulitan cari arsitek

Rencana membangun rumah panggung ternyata tak semudah yang dipikirkan Bagas meski sejarahnya rumah-rumah tradisional di Indonesia kebanyakan rumah panggung.

Arsitek-arsitek yang kebanyakan ditemui Bagas kebanyakan mengusulkan dirinya untuk membangun rumah kekinian dengan gaya minimalis serba beton.

Bagas tentu menolak arsitek-arsitek tersebut. Ia ingin rumahnya bisa ramah bagi lingkungan terutama air.

Sampai suatu ketika, saat Bagas tengah mencari inspirasi di Gramedia, ia menemukan sebuah buku berjudul "mimpi Rumah Murah" karya seorang arsitek bernama Yu Sing.

Bagas pun mencari informasi tentang pria yang ternyata berbasis di Pandegalang Jawa Barat.

"Akhirnya ketemu, dia itu bilang gini 'kalau bangun rumah itu, manfaatkan yang ada di sekitar. Kemudian buatlah seramah mungkin dengan lingkungan termasuk kalau lingkungan kita banyak potensi airnya manfaatkan itu, jangan dimusuhin'," ungkap Bagas.

Terpikat dengan pemaparan Yu Sing, akhirnya ia sepakat untuk menggunakan jasa arsitek itu untuk mendesain rumah panggung impiannya.

Terinspirasi dari berbagai rumah panggung di daerah-daerah, bukan berarti bentuk rumah Bagas terlihat kuno. Rumahnya justru terlihat kekinian dengan gaya minimalis tapi tetap ramah lingkungan.


Dari kejauhan, rumah terseebut terlihat seperti sebuah trapesium dengan banyak jendela berukuran besar. Dindingnya tak dicat karena terbuat dari susunan sejenis batu kali dan batu bata.

Tiang-tiang yang menopang rumah panggung itu tak kelihatan dari luar. Namun sebenarnya, ketinggian tiang-tiang itu meninggikan rumah hingga 110 cm.

Antara tiang dan satu dan lainnya sengaja tidak dibeton. Alasannya, saat banjir menggenang tanah yang ada diantara tiang itu bisa dijadikan sebagai tempat meresapnya air.

Hemat penggunaan air PAM hingga 30 persen

Tak hanya tiang-tiang, di bawah rumah panggung itu juga terdapat sebuah bak dengan ukuran 2 x 3 meter dan kedalaman hingga 1,5 persen.

Bak itu difungsikan sebagai penampungan air hujan yang kemudian dimanfaatkan untuk menyiram toilet dan tanaman.

"Sejak kita pakai bak itu, kira-kira 20-30 persen penurunan biaya PAM. Karena kita kan nyiram tanaman dan flush sudah pakai itu," tutur Bagas.

Awalnya Bagas sempat berniat untuk beternak lele dan mengembakbiakkan jamur di bak tersebut.

Akan tetapi, hal itu tak bisa terlaksana lantaran saat banjir menggenangi kawasan rumah Bagas, bagian kaki-kaki rumah itu terendam seluruhnya sehingga besar kemukinam lele yang ia ternakan kabur.

Ruang kosong di kaki rumah panggung itu lantas tak dibiarkan begitu saja oleh si tuan rumah. Ia membuat akses masuk menuju kaki-kaki rumah itu dan kemudian dimanfaatkan Bagas sebagai gudang barang-barang berat yang tahan air seperti balok kayu dan lainnya.

Dari luas tanah total 192 meter persegi, hanya 45 persen lahan yang digunakan untuk bangunan rumah. Sementara sisanya, dimanfaatkan Bagas sebagai pekarangan.

Sakin inginnya rumah tersebut ramah air, Bagas menggunakan susunan grass block sebagai lantai pekarangannya tersebut.

Grass block adalah bahan pengerasan jalan yang fungsinya mirip paving block, namun di tengah-tengahnya terdapat lubang besar tempat tumbuhnya rumput dan serapan air.


Banjir tak pernah lagi masuk rumah

Butuh biaya hingga Rp 575 juta dan waktu hingga satu tahun tiga bulan untuk membangun rumah impiannya itu. Menurut Bagas, untuk ukuran rumah dua setengah lantai di Kelapa Gading, angka itu terbilang murah.

Bahkan, jika tidak terjadi kendala di tengah pembangunan ia hanya perlu mengeluarkan uang Rp 450 juta.

Akan tetapi yang terpenting ialah dampak setelah rumah itu dibangun. Setelah selesai sekitar tahun 2016, banjir tak pernah lagi masuk ke dalam rumah Bagas.

Ia tak perlu lagi khawatir koleksi bukunya terendam banjir. Semua barang yang akan rusak ketika basah seperti kasur dan alat-alat elektronik juga aman ditempatnya.

Bahkan, ia tak perlu lagi membuang tenaga untuk mengangkat barang dan bersih-bersih lumpur tatkala banjir tiba.

"Ya paling cuma perlu nyapu-nyapu halaman pakai sapu lidi," kata Bagas.

Kompas.com menghampiri rumah Bagas pada hari Minggu (23/2/2020) malam di mana waktu itu banjir menggenangi kawasan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading.

Bahkan menurut Bagas, saat itu adalah banjir terparah yang pernah terjadi.

"Kalau banjir awal tahun itu sebetis (40 cm), nah kalau yang sekarang ini sebetis (60 cm) ini juga udah lebih 24 jam belum surut," ujar Bagas saat itu.

Saking parahnya banjir, akses menuju rumah Bagas terbilang lumpuh. Saya harus memarkirkan kendaraan sekitar 2 km dari kediaman Bagas karena khawatir mogok di tengah jalan.

Saat itu perumahan warga terasa sepi. Sejumlah rumah yang tak bertingkat sepertinya ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi karena terendam banjir.

Warga yang bertahan sesekali berlalu lalang untuk membeli keperluan perut.

Dari jendela rumah mereka terlihat barang ditumpuk-tumpuk agar masih bisa digunakan setelah banjir surut. Tak terbayang kerugian serta lelah mereka saat bencana itu datang.


Akan tetapi semua itu tak terlihat di kediamannya Bagas. Pekarangannya memang sudah seperti kolam air berwarna kopi susu. Namun setelah menaiki tangga teras rumahnya semua kering.

Pun ketika saya dipersilahkan masuk oleh Bagas. Semua barang-barang masih tersusun rapi di tempatnya.

"Yang Rp 450 jutanya itu worth it banget. Sisanya (125 juta) harus bisa lebih efisien. Perawatan pascabanjir juga lebih kecil. Palingan pakai sapu lidi," tutur Bagas.

"Kalau lingkungan rumah kita banyak airnya, jangan dimusuhin!"

Meski rumahnya sudah ramah air, Bagas ternyata masih punya mimpi agar ruamhnya benar-benar ramah lingkungan. Ia berniat membangun panel surya dan vertical garden agar rumahnya hemat energi dan asri.

Bahkan, ia juga punya angan-angan untuk membangun sistem pengolahan limbah air di rumahnya itu.

"Kepengennya itu nanti air cuci, air mandi jadi dibikin pengolahan lagi bisa juga dipakai minum buat flush dan nyiram tanaman kalau kayak gitu kan lebih irit lagi," ujar Bagas.

Semua itu ia lakukan agar menerima fakta bahwa kawasan Kelapa Gading dulunya merupakan kawasan rawa-rawa yang selalu basah. Ketimbang pusing protes sana sini, pria ini lebih memilih untuk mencari solusi.

Pertemuannya dengan arsitek yang sepemikiran pun memantapkan langkahnya membangun rumah ramah air dan merasakan manfaatnya sampai saat ini.

"Beliau itu (Yu Sing) bilang gini 'Kalau buat rumah itu manfaarkan kondisi yang ada di sekitar. Kalau lingkungan kita itu banyak airnya, jangan dimusuhin karena airnya juga enggak akan kemana-mana,'. Dari situlah kami ketemu dan jadilah rumah saat ini," ujar Bagas.

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/09/13073081/inspirasi-rumah-panggung-milik-warga-kelapa-gading-bebas-banjir-dan-hemat

Terkini Lainnya

Rute Transjakarta 2F Rusun Cakung Barat-Pulogadung

Rute Transjakarta 2F Rusun Cakung Barat-Pulogadung

Megapolitan
Sebelum Tewas, Giri Masih Sempat Ucapkan Syahadat Saat Dievakuasi dari Bawah Tembok Roboh

Sebelum Tewas, Giri Masih Sempat Ucapkan Syahadat Saat Dievakuasi dari Bawah Tembok Roboh

Megapolitan
Tewas Tertimpa Tembok Roboh di Kramatjati, Giri Dikenal sebagai Orang Baik dan Jujur

Tewas Tertimpa Tembok Roboh di Kramatjati, Giri Dikenal sebagai Orang Baik dan Jujur

Megapolitan
Sedang Renovasi, Tembok Rumah Warga di Kramatjati Roboh dan Timpa Dua Pekerja

Sedang Renovasi, Tembok Rumah Warga di Kramatjati Roboh dan Timpa Dua Pekerja

Megapolitan
Bule AS Kagum dengan Budaya Memberikan Kursi untuk Wanita di KRL: Ini Luar Biasa!

Bule AS Kagum dengan Budaya Memberikan Kursi untuk Wanita di KRL: Ini Luar Biasa!

Megapolitan
Tak Lagi di Dukuh Atas, Remaja 'Citayam Fashion Week' Pindah ke Kota Tua

Tak Lagi di Dukuh Atas, Remaja "Citayam Fashion Week" Pindah ke Kota Tua

Megapolitan
Aktor Rio Reifan Ditangkap Lagi, Polisi Amankan Sabu, Ekstasi, dan Obat Keras

Aktor Rio Reifan Ditangkap Lagi, Polisi Amankan Sabu, Ekstasi, dan Obat Keras

Megapolitan
Marak Penjambretan di Sekitar JIS, Polisi Imbau Warga Tak Pakai Perhiasan Saat Bepergian

Marak Penjambretan di Sekitar JIS, Polisi Imbau Warga Tak Pakai Perhiasan Saat Bepergian

Megapolitan
Sudah 5 Kali Ditangkap Polisi, Rio Reifan Belum Lepas dari Jerat Narkoba

Sudah 5 Kali Ditangkap Polisi, Rio Reifan Belum Lepas dari Jerat Narkoba

Megapolitan
Marak Kasus Pemalakan Sopir Truk, Polisi Rutin Patroli

Marak Kasus Pemalakan Sopir Truk, Polisi Rutin Patroli

Megapolitan
Sopir Truk Dipalak Rp 200.000 di Kapuk Muara, Pelaku Masih Diburu Polisi

Sopir Truk Dipalak Rp 200.000 di Kapuk Muara, Pelaku Masih Diburu Polisi

Megapolitan
Pesinetron 'Tukang Bubur Naik Haji' Rio Reifan Positif Sabu

Pesinetron "Tukang Bubur Naik Haji" Rio Reifan Positif Sabu

Megapolitan
Aktor Rio Reifan Ditangkap Kelima Kalinya, Lagi-lagi Kasus Narkoba

Aktor Rio Reifan Ditangkap Kelima Kalinya, Lagi-lagi Kasus Narkoba

Megapolitan
Brigadir RAT Bunuh Diri, Sudah Tak di Manado Sejak 10 Maret karena Izin Kunjungi Kerabat

Brigadir RAT Bunuh Diri, Sudah Tak di Manado Sejak 10 Maret karena Izin Kunjungi Kerabat

Megapolitan
Rumah TKP Brigadir RAT Bunuh Diri Pernah Dimiliki Fahmi Idris, Lalu Kini Dihuni Bos Tambang

Rumah TKP Brigadir RAT Bunuh Diri Pernah Dimiliki Fahmi Idris, Lalu Kini Dihuni Bos Tambang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke