Salin Artikel

Potret Pasar Senen Tempo Dulu, dari Kerajaan Toko hingga Siasat Menaklukkan Belanda

JAKARTA, KOMPAS.com – Tren bersepeda hari ini menggeliat lagi di Ibu Kota. Selaras dengan upaya Pemprov DKI Jakarta melirik sepeda sebagai moda transportasi alternatif, bersepeda kembali digandrungi.

Tren bersepeda keliling kota terdengar modern. Namun, jika kita melampaui waktu jauh ke masa silam hingga awal tahun 1900-an, penduduk Jakarta – saat itu Batavia – rupanya sudah akrab dengan dunia gowes.

“Kala itu sepeda merupakan kendaraan yang paling banyak digunakan masyarakat, mulai dari murid, sekolah, pegawai, hingga pedagang,” begitu tulis jurnalis senior Alwi Shahab dalam bukunya Batavia Kota Banjir (2009).

Zaman kolonial hingga awal kemerdekaan, bersepeda juga mengandung nilai prestise. Pemerintah bahkan secara khusus memungut pajak bagi para pesepeda.

Kepemilikan sepeda harus legal, seperti halnya kepemilikan kendaraan bermotor hari ini. Jika hari ini kita mengenal BPKB sebagai bukti kepemilikan kendaraan bermotor, zaman itu para pesepeda mesti melengkapi tunggangannya dengan “peneng”.

Peneng ini berwujud lempengan besi/emblem yang dipasang di sepeda, sebagai penanda bahwa sepeda tersebut sudah terdaftar sebagai objek pajak. Tanpa peneng, pesepeda bakal kena denda jika terjaring razia waktu itu.

Seiring prestise yang melekat pada bersepeda, beberapa merek akhirnya menjadi primadona para pesepeda di Batavia era itu, sebut saja Humber, Raleigh, Royal & Fill, Fongers, dan Hercules.

Lantas, di mana orang-orang mencari sepeda-sepeda merek tenar beserta seperangkat aksesorinya waktu itu?

Jawabannya adalah Pasar Senen.

Simpul ekonomi

Pengantar mengenai tren bersepeda di pengujung era kolonial tadi adalah permulaan untuk memperkenalkan bahwa Pasar Senen di pusat Batavia sudah berdenyut sejak lama.

Jauh sebelum hari ini, Pasar Senen yang dibangun pada 1733-1735 silam itu boleh dibilang telah mengemban peran sebagai salah satu jantung ekonomi Batavia selain Pasar Tanah Abang.

"Di depan pasar, tempat kini berdiri (Plaza) Atrium Senen, dulu terdapat Apotek Rathkamp yang setelah Kemerdekaan menjadi Kimia Farma. Dulu, daerah ini disebut Gang Kenanga,” kata Alwi dalam buku yang sama.

“Di sini terdapat toko sepeda terkenal, Tjong & Co,” lanjut dia.

Pemerintah Hindia Belanda juga tampaknya memang mendesain Pasar Senen sebagai salah satu simpul penting aktivitas ekonomi di Batavia.

Mulanya, pasar ini buka cuma hari Senin, sehingga dijuluki Pasar Senen. Akan tetapi, jurnalis senior Windoro Adi mencatat, secara bertahap Pasar Senen dibuka sepekan penuh mulai tahun 1766 (Batavia, 1740: menyisir jejak Betawi).

Tak hanya itu, lintasan trem yang membelah Batavia dari Meester Cornelis (Jatinegara) ke Pasar Ikan, juga dibangun melewati wilayah Pasar Senen selain Pasar Baru dan Glodok.

Menukil catatan Alwi Shahab, lintasan trem tersebut melintang di depan Rex Theater, sebuah bioskop besar yang kemudian beralih nama menjadi Kramat Theater.

Londo-londo berhak naik trem kelas 1 waktu itu, sedangkan kalangan keturunan Arab dan Tionghoa boleh naik trem kelas 2. Sementara itu, kaum pribumi yang terjajah hanya berhak naik trem kelas 3.

Akan tetapi, kendati menyandang predikat sebagai salah satu simpul penting denyut ekonomi Batavia, jangan dibayangkan bila Pasar Senen zaman itu sesak seperti sekarang.

Orang-orang masih bebas berlalu-lalang tanpa perlu gusar akan berimpitan badan ketemu badan dengan warga lain, kata Alwi. Para pesepeda juga leluasa saja bergowes ke kanan-kiri tanpa takut menubruk pejalan kaki.

Kerajaan toko: kamuflase Jepang dan intelektual pribumi

Arus duit banyak berputar di Pasar Senen waktu itu. Ia ibarat gula bagi warga yang datang menyemut mencari keperluannya, mulai dari aksesoris sampai hiburan di bioskop.

Tak pelak, toko-toko bermunculun bak cendawan di musim penghujan. Fenomena ini berlangsung sejak akhir era Kolonial hingga awal masa Kemerdekaan, sekitar dekade 1930-1950-an, kata Alwi.

“Di Pasar Senen terdapat tukang peci Idris Halim, merek Pantas. Konon, Bung Karno selalu memesan peci dari tempat ini,” ujar pria yang akrab disapa “Abah Alwi” itu.

“Antara Bioskop Rex dan Tanah Tinggi, banyak toko dan kafe bermunculan, seperti Padangsche Buffert – mungkin rumah makan pertama di Jakarta,” kata dia.

Nama-nama pengusaha beken pun santer terdengar di sekitaran Pasar Senen. Salah satunya ialah Djohan Djohor, pengusaha terkenal yang disebut sebagai kawan baik Bung Hatta. Ia berukim di Gang Kwini, dekat RS Gatot Subroto.

“Pada tahun 1930-an ada seorang pribumi yang menjadi pengusaha perdagangan dan perkapalan Dasaad Concern. Sedangkan pengusaha Arab terkenal saat itu adalah Marba, singkatan dari nama Marta dan Bajened. Yang terakhir ini pada 1950-an mati ditembak Bir Ali dari Cikini yang hendak merampoknya,” kata Alwi bercerita, masih dalam buku yang sama.

Bermunculannya toko-toko bahkan menjadi siasat tersendiri memasuki dekade 1940-an dalam upaya menaklukkan Belanda.

Toko-toko milik saudagar berkebangsaan Jepang pun meruyak di Pasar Senen. Bahkan, statusnya oleh Pemerintah Hindia Belanda disamakan dengan golongan Eropa.

Hebatnya, saudagar-saudagar Jepang ini berani banting harga.

“Harga-harga barang di toko milik orang Jepang jauh lebih murah ketimbang produk Eropa dan lokal,” kisah pria kelahiran 1936 itu.

Namun, siapa sangka, toko-toko yang ditukangi oleh warga Jepang itu rupanya berperan sebagai mata-mata. Toko dan strategi banting harganya cuma selubung bagi penyamaran mereka, yang terbukti berhasil.

“Mereka rupanya telah menyiapkan diri untuk menaklukkan Hindia Belanda,” ujar Alwi.

Bukan cuma Nippon alias Jepang yang memanfaatkan Pasar Senen untuk bersiasat menundukkan Belanda. Para intelektual dan aktivis muda pribumi, kata Windoro Adi, juga kerap berkumpul di sini.

“Di antara mereka adalah Adam Malik … serta pasangan Presiden dan Wakil Presiden pertama RI: Soekarno-Hatta,” ujar Windoro dalam bukunya.

Pasar Senen tetap digdaya hingga Kemeredekaan Indonesia diproklamirkan.

Setelah Jepang dan Belanda angkat kaki dari Batavia, pamor Pasar Senen yang diarsiteki oleh seorang Belanda bernama Justinus Vinck itu tak ikut pudar.

Tempat nongkrong jago-jago seni setelah Kemerdekaan, sebelum digilas Ali Sadikin

Memasuki awal masa Kemerdekaan, Pasar Senen masih gelimang. Alwi mengisahkan, pada dekade 1950-an, rumah makan padang Ismail Merapi di wilayah ini kerap jadi tempat nongkrong para seniman Senen, sebut saja Sukarno M. Noor, Wahyu Sihombing, Sumandjaya, Menzano, Wahid Chan, hingga HB Jassin dan Djamaluddin Malik.

Windoro Adi juga bilang hal yang sama. Para begawan dunia seni asal Jakarta banyak menjadikan Pasar Senen sebagai pusat pertemuan, tak terkecuali Bing Slamet hingga Benyamin Sueb.

Kemunculan toko-toko pun masih terus berlanjut. Alwi mengingat, ada dua toko yang begitu tersohor di wilayah Pasar Senen, namanya Baba Gemuk dan Baba Jenggot.

Kata dia, kasir-kasir di dua toko kondang itu menghitung duit belanjaan dengan sempoa yang “tidak kalah cepat dengan komputer”.

Lalu, bagaimana dengan toko sepeda?

Tjong & Co tak lagi jadi satu-satunya toko sepeda paling tenar sekawasan, sejak munculnya toko sepeda milik H Ma’ruf tak jauh dari situ. Putra Ma’ruf kemudian berekspansi ke kawasan Taman Ismail Marzuki dengan mendirikan bioskop Garden Hall.

Kisah-kisah seputar Pasar Senen kini ibarat legenda belaka di tengah Ibu Kota yang terus berderap berbalapan dengan zaman.

Artikel Harian Kompas berjudul "Asam Garam Pasar Berusia 285 Tahun" yang terbit pada 20 Januari 2020 mencatat, Pasar Senen yang dulu sudah digilas oleh pembangunan besar-besaran di wilayah itu pada 1964 silam.

Pembangunan besar-besaran sebagai upaya modernisasi kota itu terjadi ketika Jakarta ada di bawah kekuasaan Gubernur Ali Sadikin.

Kawasan itu dinilai kumuh, dengan lalu lintas, tempat parkir kendaraan, jalan yang sempit serta pasar yang tidak tertata, sedangkan lokasinya sangat dekat dengan Istana.

Proyek ini kemudian dikenal dengan “Proyek Senen” yang digawangi oleh mendiang Ciputra. Pasar Senen digadang-gadang menjadi daerah hunian baru sekaligus daerah industri lengkap, sebagai pusat perdagangan “yang sesuai dengan kebesaran bangsa Indonesia”.

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/06/20/21074351/potret-pasar-senen-tempo-dulu-dari-kerajaan-toko-hingga-siasat

Terkini Lainnya

Mengaku Tak Pernah Patok Tarif Seenaknya, Jukir di Palmerah: Kadang Rp 500, Terima Saja…

Mengaku Tak Pernah Patok Tarif Seenaknya, Jukir di Palmerah: Kadang Rp 500, Terima Saja…

Megapolitan
Elang Kumpulkan Uang Hasil Memarkir untuk Kuliah agar Bisa Kembali Bekerja di Bank...

Elang Kumpulkan Uang Hasil Memarkir untuk Kuliah agar Bisa Kembali Bekerja di Bank...

Megapolitan
Pegawai Minimarket: Keberadaan Jukir Liar Bisa Meminimalisir Kehilangan Kendaraan Pelanggan

Pegawai Minimarket: Keberadaan Jukir Liar Bisa Meminimalisir Kehilangan Kendaraan Pelanggan

Megapolitan
Polisi Tangkap Tiga Pelaku Tawuran di Bogor, Dua Positif Narkoba

Polisi Tangkap Tiga Pelaku Tawuran di Bogor, Dua Positif Narkoba

Megapolitan
Yayasan SMK Lingga Kencana Sebut Bus yang Digunakan untuk Perpisahan Siswa Dipesan Pihak Travel

Yayasan SMK Lingga Kencana Sebut Bus yang Digunakan untuk Perpisahan Siswa Dipesan Pihak Travel

Megapolitan
Usai Bunuh Pamannya Sendiri, Pemuda di Pamulang Jaga Warung Seperti Biasa

Usai Bunuh Pamannya Sendiri, Pemuda di Pamulang Jaga Warung Seperti Biasa

Megapolitan
Kecelakaan Rombongan SMK Lingga Kencana di Subang, Yayasan Akan Panggil Pihak Sekolah

Kecelakaan Rombongan SMK Lingga Kencana di Subang, Yayasan Akan Panggil Pihak Sekolah

Megapolitan
Soal Janji Beri Pekerjaan ke Jukir, Heru Budi Akan Bahas dengan Disnakertrans DKI

Soal Janji Beri Pekerjaan ke Jukir, Heru Budi Akan Bahas dengan Disnakertrans DKI

Megapolitan
Profesinya Kini Dilarang, Jukir Liar di Palmerah Minta Pemerintah Beri Pekerjaan yang Layak

Profesinya Kini Dilarang, Jukir Liar di Palmerah Minta Pemerintah Beri Pekerjaan yang Layak

Megapolitan
Pemprov DKI Jakarta Lepas 8.000 Jemaah Haji dalam Dua Gelombang

Pemprov DKI Jakarta Lepas 8.000 Jemaah Haji dalam Dua Gelombang

Megapolitan
Jukir Minimarket: Jangan Main Ditertibkan Saja, Dapur Orang Bagaimana?

Jukir Minimarket: Jangan Main Ditertibkan Saja, Dapur Orang Bagaimana?

Megapolitan
Rubicon Mario Dandy Turun Harga, Kini Dilelang Rp 700 Juta

Rubicon Mario Dandy Turun Harga, Kini Dilelang Rp 700 Juta

Megapolitan
Anggota Gangster yang Bacok Mahasiswa di Bogor Ditembak Polisi karena Melawan Saat Ditangkap

Anggota Gangster yang Bacok Mahasiswa di Bogor Ditembak Polisi karena Melawan Saat Ditangkap

Megapolitan
Warga Cilandak Tangkap Ular Sanca 4,5 Meter yang Bersembunyi di Saluran Air

Warga Cilandak Tangkap Ular Sanca 4,5 Meter yang Bersembunyi di Saluran Air

Megapolitan
Dijanjikan Diberi Pekerjaan Usai Ditertibkan, Jukir Minimarket: Jangan Sekadar Bicara, Buktikan!

Dijanjikan Diberi Pekerjaan Usai Ditertibkan, Jukir Minimarket: Jangan Sekadar Bicara, Buktikan!

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke