Masalah perekonomian diduga jadi penyebab utama berpisahnya ratusan pasutri.
Namun, pada Juli dan Agustus angka perceraian berangsur normal, yakni sekira 500 kasus per bulan.
"Sudah turun sedikit sih di bulan Juli 700, bulan Agustus itu 550," kata Hakim sekaligus Humas Pengadilan Agama Jakarta Timur Istiana saat dikonfirmasi, Kamis (3/9/2020).
Menurut dia, angka perceraian mulai turun lantaran pemerintah sudah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi yang melonggarkan kegiatan masyarakat sehingga roda perekonomian bergerak.
Hasilnya, pasutri yang semula mengalami paceklik perekonomian, kini mulai mendapatkan penghasilannya kembali.
"Karena dibuka lagi perusahaan, perkantoran. Yang tadinya dirumahkan sudah kembali kerja. Yang orang dagang di pasar tadinya enggak dapat pelanggan sama sekali sekarang kan jadi dapat," kata dia Istiani.
Dia memperkirakan, pada September dan seterusnya kasus perceraian akan kembali ke jumlah normal, yakni sekira 500 kasus per bulan.
Sebelumnya, 900 angka perceraian tersebut terdiri dari pasutri yang usia pernikahannya baru seumur jagung. Rata-rata usia pernikahan mereka diketahui baru dua sampai lima tahun.
"Kata psikolog tujuh tahun perkawinan awal masa adaptasi. Kalau itu berhasil, berarti di tujuh tahun ke-2 (memasuki 14 tahun) itu sukses," terang dia.
Penyebab perceraiannya pun mayoritas sama yakni karena masalah ekonomi. Banyak istri yang mengeluhkan minimnya pendapatan suami setelah jadi korban PHK pada masa pandemi Covid-19.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/09/03/18161741/pengadilan-agama-jaktim-sebut-psbb-transisi-berhasil-tekan-angka