JAKARTA, KOMPAS.com - Segala macam bentuk reklame mulai dari baliho, spanduk, umbul-umbul dan media reklame lainnya di DKI Jakarta sudah memiliki aturan tersendiri.
Aturan terbaru yang dibuat untuk menertibkan pemasangan spanduk di Ibu Kota tertuang dalam Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame.
Untuk jenis reklame yang dikenakan aturan ada 10 jenis, yakni:
1. Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya.
2. Reklame kain
3. Reklame melekat, stiker
4. Reklame selebaran
5. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan
6. Reklame udara
7. Reklame apung
8. Reklame suara
9. Reklame film atau slide
10. Reklame peragaan
Sepuluh jenis reklame ini diatur sebagai objek pajak dalam Perda 12 Tahun 2020 tentang pajak reklame.
Dasar pengenaan pajak reklame tertuang dalam Pasal 6 Perda yang sama, yang menjelaskan setiap besaran pajak reklame akan ditentukan dari Nilai Sewa Reklame (NSR) yang dilihat dari tujuh faktor berikut:
1. Jenis reklame
2. Bahan yang digunakan
3. Lokasi penempatan
4. Waktu
5. Jangka waktu penyelenggaraan
6. Jumlah
7. Ukuran media reklame
Setelah dihitung, barulah pajak reklame dikenakan 25 persen dari NSR total yang sudah dihitung sebelumnya.
Harus mendapatkan izin
Aturan penerbitan reklame tidak hanya sekadar setelah membayar pajak kemudian bisa mendirikan baliho dan spanduk di mana saja.
Dalam Pergub 244 Tahun 2015 diatur teknis penyelenggaraan reklame agar bisa diterbitkan. Hal tersebut terutang dalam Pasal 4 Ayat 2 yang berbunyi, "Setiap penyelenggara reklame baru dapat diselenggarakan atau dipasang setelah memiliki izin dan membayar kewajiban pajak daerah, retribusi daerah dan penerimaan lain-lain yang sah sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur ini."
Syarat pendaftaranya beragam, aturan umum tertuang bagi yang ingin menerbitkan reklame yaitu melampirkan dokumen permohonan dan identitas diri dan surat pernyataan bermaterai tentang keabsahan data yang diajukan.
Syarat-syarat lengkapnya bisa dilihat di situs BPTSP DKI Jakarta.
Di Pergub ini juga dibahas mengenai reklame yang bisa ditertibkan tertuang dalam Pasal 66 Ayat 1.
Ada delapan jenis penertiban reklame yang disebut, yaitu:
1. Tanpa izin.
2. Telah berakhir masa izin dan tidak diperpanjang.
3. Tidak membayar sewa titik reklame dan pungutan penerimaan lain-lain yang sah.
4. Tidak membayar pajak reklame.
5. Terdapat perubahan dan tidak sesuai dengan izin yang telah diberikan.
6. Perletakan, bentuk dan ukuran media atau bidang tidak sesuai TLB-BR (Tata Letak Bangunan-Bangunan Reklame).
7. Tidak sesuai IMB-BR (Izin Membangun Bangunan-Bangunan Reklame).
8. Tidak terawat dengan baik.
Dalam Pasal 6 Ayat 2 dijelaskan, delapan pelanggaran pemasangan reklame tersebut bisa ditindak dengan penurunan atau pembongkaran konstruksi reklame.
Sedangkan untuk penertiban spanduk atau baliho juga sering dikaitkan dengan penegakan Perda Nomor 9 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Dalam Pasal 52 Ayat 1 disebutkan "Setiap orang atau badan dilarang menempatkan atau memasang lambang, simbol, bendera, spanduk, umbul-umbul, maupun atribut-atribut lainnya pada pagar pemisah jembatan, pagar pemisah jalan, jalan, jembatan penyeberangan, halte, terminal, taman, tiang listrik dan tempat umum lainnya."
Aparat yang bisa menindak
Jika merujuk pada Perda tentang Ketertiban Umum, setiap reklame yang tidak memiliki izin tayang bisa ditindak oleh Satpol PP.
Hal tersebut tertuang Peraturan Gubernur Nomor 221 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2007.
Satpol PP merupakan penanggung jawab utama pembinaan, pengendalian, dan pengawasan penyelenggaraan ketertiban umum, termasuk pencopotan spanduk dan baliho yang dipasang menyalahi aturan.
Dalam menjalankan tugasnya, Satpol PP bisa berkoordinasi atau bekerja sama dengan instansi pemerintah.
Pasal 5 Ayat 2 Pergub tersebut menyatakan, instansi pemerintah yang dapat membantu tugas Satpol PP dalam pengawasan ketertiban umum, di antaranya jajaran Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, Komando Garnisun Ibu Kota, Kejaksaan, dan Pengadilan.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/25/09523361/begini-aturan-pemasangan-baliho-yang-sah-di-dki-jakarta