Kenaikan tunjangan bagi setiap anggota DPRD DKI diusulkan melalui anggaran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2021.
Rancangan anggaran RKT 2021 mencapai Rp 888 miliar untuk 106 anggota DPRD DKI Jakarta.
Kenaikan RKT itu akan berdampak pada besaran uang yang diperoleh masing-masing anggota DPRD selama satu tahun anggaran.
Artinya, setiap anggota Dewan bisa mengantongi uang sebesar Rp 8,3 miliar dalam setahun atau Rp 689 juta per bulan jika usulan anggaran itu lolos.
Namun, berbagai pihak mengkritik rencana tersebut. Pasalnya, impitan ekonomi kini dirasakan warga Ibu Kota akibat pandemi Covid-19.
Berikut enam alasan gaji dan tunjangan anggota DPRD DKI seharusnya tak dinaikkan berdasarkan kritikan berbagai pihak:
1. Bentuk penyalahgunaan wewenang
Peneliti dan Koordinator Bidang Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyatakan, usulan kenaikan tunjangan DPRD DKI Jakarta di tengah pandemi Covid-19 merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang.
Anggota Dewan dinilai memanfaatkan kewenangan mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi sekaligus memperkaya diri sendiri.
"Ini identik dengan semangat koruptif yang mencuri anggaran negara untuk memperkaya diri," ujar Lucius kepada Kompas.com, pada Kamis (3/12/2020).
Tak hanya itu, anggota Dewan juga menunjukkan sikap ketidakpedulian terhadap nasib warga di tengah pandemi.
"Paling mungkin menjelaskan (alasan) usulan (anggaran) fantastis itu adalah dengan mengatakan bahwa DPRD memang tak punya kepedulian nyata terhadap situasi nyata warga DKI," ujar Lucius.
2. Angka kemiskinan di Jakarta naik
Berdasarkan data BPS DKI Jakarta pada Maret 2020, warga miskin di DKI Jakarta naik sebesar 1,11 persen dibanding data terakhir pada September 2019.
Warga miskin Ibu Kota bertambah 118.600 orang menjadi 480.860 orang pada Maret 2020. Jumlah tersebut setara dengan 4,53 persen dari total penduduk Ibu Kota.
Angka kemiskinan tersebut merupakan angka tertinggi dalam satu dekade terakhir dan hampir menyamai kondisi Jakarta 20 tahun lalu.
Kala itu, jumlah warga miskin Ibu Kota setara dengan 4,96 persen dari total penduduk Ibu Kota.
Tingkat ketimpangan sosial di Jakarta juga meningkat yang ditunjukkan dari indeks gini sebesar 0,399 pada Maret 2020, sedangkan indeks gini pada September 2019 adalah 0,391.
Selanjutnya, indeks kedalaman kemiskinan di Ibu Kota juga naik dari 0,397 pada September 2019 menjadi 0,590 pada Maret 2020.
Itu berarti jurang kemiskinan di DKI Jakarta semakin dalam.
Selain itu, indeks keparahan kemiskinan naik 0,042 poin dari 0,072 pada September 2020 menjadi 0,114 pada Maret 2020.
Artinya, kesenjangan pengeluaran di antara penduduk miskin semakin parah.
3. Daya beli menurun
Daya beli warga juga menurun seiring kenaikan angka kemiskinan. Kondisi ini dipengaruhi kenaikan harga barang jasa serta masyarakat yang kehilangan pekerjaan.
Selama enam bulan terakhir sejak September 2019 hingga Februari 2020, harga barang dan jasa naik 3,58 persen, terutama harga bahan makanan.
Pengeluaran pada kelompok rumah tangga 40 persen ke bawah juga menurun 0,27 persen menjadi 17,25 pada Maret 2020 dari 17,52 persen pada September 2019.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga terkontraksi sebesar 0,18 persen selama triwulan I tahun 2020.
Di sisi lain, garis kemiskinan tumbuh 3,15 pesen dari 451.918 pada September 2019 menjadi 466.156 pada Maret 2020.
4. Pengangguran meningkat
Pandemi Covid-19 semakin memperparah kondisi perekonomian warga Ibu Kota.
Berdasarkan data Disnaker DKI Jakarta hingga April 2020, tercatat 323.224 pekerja Ibu Kota terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan tanpa upah (unpaid leave) akibat pandemi Covid-19.
Rinciannya, 50.891 pekerja di 6.782 perusahaan mengalami PHK dan 272.333 pekerja di 32.882 perusahaan dirumahkan.
Tidak sedikit pula pekerja yang harus menerima pemotongan gaji karena kondisi keuangan perusahaan.
5. Pemprov DKI memiliki utang Rp 16,5 triliun
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru saja menerima pinjaman dana sebesar Rp 16,5 triliun dari pemerintah pusat.
Dana tersebut berasal dari APBN dalam rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp 10 triliun dan dari PT SMI Rp 5 triliun.
Pemprov DKI Jakarta awalnya mengajukan usulan utang sebesar Rp 12,5 triliun, yang mana Rp 4,5 triliun di antaranya untuk tahun ini dan Rp 8 triliun tahun 2021.
Dana itu akan digunakan mengatasi dampak pandemi Covid-19 dan membiayai pembangunan infrastruktur yang terkendala, terutama sektor pelayanan air minum, pengendalian banjir, pengolahan sampah, transportasi, pariwisata, dan olahraga.
6. Anggaran pembangunan sekolah lebih kecil
Berdasarkan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) 2021 yang diunggah dari situs apbd.jakarta.go.id, anggaran Pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) untuk Dinas Pendidikan DKI Jakarta hanya sebesar Rp 3,8 miliar, tepatnya Rp 3.815.223.492 pada tahun 2021.
Angka tersebut sangat jomplang apabila dibandingkan dengan RKT DPRD DKI Jakarta Rp 888 miliar.
Tidak hanya untuk pembangunan Unit Sekolah Baru (USB), anggaran pembangunan Sarana, Prasarana, dan Utilitas Sekolah lebih kecil dibanding anggaran RKT yang diusulkan DPRD DKI.
Tertulis untuk kegiatan pembangunan Sarana, Prasarana, dan Utilitas Sekolah hanya mendapat anggaran Rp 160,2 miliar.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/04/13033931/6-alasan-usul-kenaikan-tunjangan-dprd-dki-jakarta-2021-harus-ditolak