Salin Artikel

Kisah Keluarga Waluyo yang Termarjinalkan, Hidup di Pinggir Rel Manggarai Tanpa Listrik

JAKARTA, KOMPAS.com – Matahari perlahan mulai tenggelam di arah barat. Kereta terus melintas ke arah Jatinegara dan Manggarai. Sementara itu, keluarga Waluyo menikmati senja di pinggiran rel kereta beralaskan kasur lusuh dan pemandangan gedung-gedung tinggi di ujung barat.

Sa'anih (34), istri Waluyo sibuk bermain dengan anak-anaknya. Anak bontotnya, Galih (2) dipeluknya. Sementara kakaknya, Dana (4) dan Ahmad (5) sibuk dengan mainan traktornya. Kakak sulung Galih, Putra (11) rebahan di kasur.

Galih tampak tak lepas dari ibunya. Sesekali, Dana naik ke paha ibunya. Putra asyik sendiri jumpalitan.

“Saya ga pernah keluar ke mana-mana. Paling kalau keluar, anaknya aja tuh naik odong-odong. Udah. Gitu aja. Sehari-harinya gitu,” ujar Sa'anih sambil tertawa saat ditemui pada Jumat (12/3/2021) sore.

Setiap hari Sa'anih bercanda dengan anak-anaknya sambil menghabiskan waktu sore di atas kasur yang digelar di atas kerikil. Mereka menunggu Waluyo pulang kerja. Semburat jingga di langit dan kereta lalu lalang seakan hiburan gratis bagi keluarga Waluyo.

“Noh kereta de, kereta,” ujar Saanih kepada Galih sambil menunjuk kereta.

Riuh ramai anak-anak Waluyo terdengar bersama deru pembangunan jembatan pembangunan mega proyek jembatan Double-Double Track (DDT) Manggarai-Cikarang. Tak jarang pertengkaran kecil muncul saat anak-anak Waluyo berkumpul.

Rumah Waluyo berada di pinggir bekas rel kereta Manggarai-Jatinegara tepatnya di Jalan Manggarai Selatan, Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan. Rumahnya seakan tersembunyi di balik pepohonan.

“Noh, ayah pulang noh,” ujar Sa'anih saat melihat Waluyo pulang.

Waluyo (41) akhirnya pulang. Ia akhirnya bergabung dengan keluarga tercinta yang sudah menunggunya. Raut lelah terpancar dari wajah Waluyo. Letih terbayarkan ketika melihat istri dan anak-anaknya pada sore itu.

“Beli kopi, mas mau kopi ga,” ujar Waluyo seraya menawarkan kopi, Jumat (12/3/2021).

Di tengah kesulitan hidupnya, Waluyo masih memegang teguh etika bertamu. Ia terus menawarkan segelas kopi meski sudah ditolak. Terhitung lebih dari tiga kali ia menawarkan kopi.

“Bener nih Mas, mau kopi ya?,” kata Waluyo seraya menyalakan sebatang rokok.

Rokoknya ia hisap dalam-dalam lalu dihembuskan asapnya ke udara. Galih ia pangku. Senyum Waluyo tak habis ia keluarkan sambil bercerita.

“Saya ini merantau, asli Boyolali. Istri juga Boyolali,” kata Waluyo.

Waluyo merantau ke Jakarta sejak Putra berusia 40 hari. Rumahnya berpindah-pindah.

Suatu saat ia pernah tinggal di Jakarta Barat sebelum pindah ke pinggir rel kereta Manggarai-Jatinegara. Waluyo pindah kerja ke daerah Manggarai sebagai kuli serabutan.

“Kita dulu ngontrak, kan saya pindah dari kampung pas Putra umur 40 hari terus pindahnya ke Jakarta Barat,” ujar Saanih.

Rumah Waluyo sebelumnya sekitar 100 meter dari tempatnya sekarang. Pada tahun 2018, ia pindah ke Manggarai dari Jakarta Barat.

Saat itu bedengnya terkena gusuran imbas dari pembangunan jalur DDT Manggarai-Cikarang. Namun, bentuk rumahnya tetap sama. Bedeng dari seng sana sini dari tawaran seseorang. Lima bulan sudah keluarga Waluyo tinggal di bedeng reot.

Ahmad asyik dengan mainan traktornya. Moncong traktornya menggaruk batu kerikil. Sesekali, Ahmad berlari-lari dengan kaki telanjang. Tak ada handphone dengan kamera 64 megapiksel dan aplikasi game PUBG di tangan anak-anak Waluyo.

Rel kereta, sungai Ciliwung, dan kerikil-kerikil adalah wahana bermain anak-anak Waluyo. Suatu waktu, Dana hampir terserempet kereta. Kepala Dana hampir tergilas roda kereta.

“Gak tau dia (Dana) ikutin bapaknya. Bapaknya udah turun (turun ke rumahnya yang di bawah), dianya belum turun. Bapaknya juga gatau diikutin anaknya,” ujar Sa'anih sambil mengelus kepala Dana.

Kepala Dana membentur bemper kereta. Beruntung kereta sedang tak berjalan. Anak Waluyo hampir bertemu malaikat maut.

Bedeng Waluyo pun belum dialiri listrik. Setiap hari, Waluyo dan keluarganya bergantung kepada lilin yang berpendar.

Untuk mengisi baterai handphone jadul semata mayang pun harus menumpang ke tetangga. Handphonenya pun tak bisa digunakan untuk belajar online.

“Handphone dulu Samsung J2 sudah dijual Rp400 ribu. Yah dijual buat makan dan pas-pasan,” ujar Waluyo.

Putra sudah putus sekolah sejak dua bulan lalu. Handphone Waluyo sudah dijual. Pihak sekolah pun belum tahu keberadaan Putra.

“Sekolahnya berhenti dulu. Belum tahu sih, kalau tahu sih ke sini gurunya. Kan belum tahu kasih tahu tempatnya,” kata Waluyo.

Untuk urusan makan pun Sa'anih bergantung pada warung makan. Tak ada dapur di rumahnya. Bila keluarganya lapar, ia harus beli ke warung makan.

Waluyo terbata-bata ketika memikirkan harapannya kepada pemerintah. Pria berambut gondrong tersebut hanya tertawa. Sesekali ia menunduk seraya pesimis untuk menaruh harapan kepada pemerintah.

“Harapan sama pemerintah apa ya? Ya adalah (harapan). Tapi namanya pemerintah, orang-orang gini mana mau sih (diperhatikan). Ya pemulung kan namanya diasingkan. Sama Satpol PP diobrak abrik,” ujar Waluyo sambil menghela nafas.

Sebagai kaum yang marjinal, Waluyo sangat khawatir dengan kesehatan keluarganya. Tak ada kartu jaminan kesehatan di dompetnya. Berserah diri ke Allah SWT adalah 'jalan ninja' bagi Waluyo.

Anaknya pernah sakit. Ia hanya bisa pergi ke puskesmas. Jaminan kesehatan adalah satu dari mimpi Waluyo.

“Ya pengen sih ada jaminan kesehatan ya. Namanya (urusan) kesehatan ya pingin,” kata Waluyo.

Covid-19 pun jadi momok bagi Keluarga Waluyo. Masker yang sudah lusuh masih ia pakai. Karet pengaitnya pun kini sudah putus karena dijadikan mainan anaknya.

Pandemi Covid-19 ia akui sangat berdampak. Bantuan sosial pun tak ia dapatkan karena ia ber-KTP Jawa. Uluran tangan hanya hadir di awal-awal pandemi Covid-19.

“Paling (bantuan) dari itu doang, orang-orang dari panti, yayasan. Dulu doang. Dulu sering pokoknya. Seminggu bisa tiga kali tapi sekarang sudah ga ada,” ujar Waluyo.

Matahari mulai menghilang. Namun, impian Waluyo tak ikut hilang. Ia ingin kembali berdagang nasi goreng seperti dulu. Sebelum di Manggarai, ia pernah berjualan nasi goreng di Pademangan, Jakarta Utara.

“Kalau saya pengen jualan nasi goreng lagi. Kalau bisa sih punya tempat sendiri,” kata Waluyo.

Ia berpikir jika ada orang yang memberi sedikit modal, berjualan nasi goreng adalah pilihannya. Istrinya pun memuji nasi goreng buatan suaminya.

“Dia kalau bikin nasi goreng enak,” ujar Sa'anih sambil tertawa. Waluyo tampak malu dipuji istrinya.

Lafadz Al-Quran mulai menggema di sekitar Manggarai. Keluarga Waluyo masih asyik menikmati sore. Peluk kasih sayang Saanih dan Waluyo masih terasa hangat.

Sementara itu, roda-roda kereta masih menggilas rel dengan mulus. Namun, mulusnya jalan roda-roda kereta tak seperti kondisi keluarga Waluyo. Kemiskinan yang dialami keluarga Waluyo adalah potret nyata kehidupan orang pinggiran Jakarta yang termarjinalkan.

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/14/07064151/kisah-keluarga-waluyo-yang-termarjinalkan-hidup-di-pinggir-rel-manggarai

Terkini Lainnya

Viral Video Maling Motor Babak Belur Dihajar Massa di Tebet, Polisi Masih Buru Satu Pelaku Lain

Viral Video Maling Motor Babak Belur Dihajar Massa di Tebet, Polisi Masih Buru Satu Pelaku Lain

Megapolitan
Personel Gabungan TNI-Polri-Satpol PP-PPSU Diterjunkan Awasi RTH Tubagus Angke dari Prostitusi

Personel Gabungan TNI-Polri-Satpol PP-PPSU Diterjunkan Awasi RTH Tubagus Angke dari Prostitusi

Megapolitan
Tumpahan Oli di Jalan Juanda Depok Rampung Ditangani, Lalu Lintas Kembali Lancar

Tumpahan Oli di Jalan Juanda Depok Rampung Ditangani, Lalu Lintas Kembali Lancar

Megapolitan
Warga Minta Pemerintah Bina Pelaku Prostitusi di RTH Tubagus Angke

Warga Minta Pemerintah Bina Pelaku Prostitusi di RTH Tubagus Angke

Megapolitan
Jakarta Disebut Jadi Kota Global, Fahira Idris Sebut   Investasi SDM Kunci Utama

Jakarta Disebut Jadi Kota Global, Fahira Idris Sebut Investasi SDM Kunci Utama

Megapolitan
Kilas Balik Benyamin-Pilar di Pilkada Tangsel, Pernah Lawan Keponakan Prabowo dan Anak Wapres, Kini Potensi Hadapi Kotak Kosong

Kilas Balik Benyamin-Pilar di Pilkada Tangsel, Pernah Lawan Keponakan Prabowo dan Anak Wapres, Kini Potensi Hadapi Kotak Kosong

Megapolitan
Jejak Kekerasan di STIP dalam Kurun Waktu 16 Tahun, Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh...

Jejak Kekerasan di STIP dalam Kurun Waktu 16 Tahun, Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh...

Megapolitan
Makan dan Bayar Sesukanya di Warteg Tanah Abang, Pria Ini Beraksi Lebih dari Sekali

Makan dan Bayar Sesukanya di Warteg Tanah Abang, Pria Ini Beraksi Lebih dari Sekali

Megapolitan
Cerita Pelayan Warteg di Tanah Abang Sering Dihampiri Pembeli yang Bayar Sesukanya

Cerita Pelayan Warteg di Tanah Abang Sering Dihampiri Pembeli yang Bayar Sesukanya

Megapolitan
Cegah Praktik Prostitusi, Satpol PP DKI Dirikan Tiga Posko di RTH Tubagus Angke

Cegah Praktik Prostitusi, Satpol PP DKI Dirikan Tiga Posko di RTH Tubagus Angke

Megapolitan
Oli Tumpah Bikin Jalan Juanda Depok Macet Pagi Ini

Oli Tumpah Bikin Jalan Juanda Depok Macet Pagi Ini

Megapolitan
RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi, Komisi D DPRD DKI: Petugas Tak Boleh Kalah oleh Preman

RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi, Komisi D DPRD DKI: Petugas Tak Boleh Kalah oleh Preman

Megapolitan
DPRD DKI Minta Warga Ikut Bantu Jaga RTH Tubagus Angke

DPRD DKI Minta Warga Ikut Bantu Jaga RTH Tubagus Angke

Megapolitan
Mayat Laki-laki Mengapung di Perairan Kepulauan Seribu, Kaki dalam Kondisi Hancur

Mayat Laki-laki Mengapung di Perairan Kepulauan Seribu, Kaki dalam Kondisi Hancur

Megapolitan
Mayat Laki-laki Mengapung di Perairan Laut Pulau Kotok Kepulauan Seribu

Mayat Laki-laki Mengapung di Perairan Laut Pulau Kotok Kepulauan Seribu

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke