Hal ini menyusul insiden pemukulan bayi tujuh bulan oleh EP, ayah kandungnya, di Tapos, Depok, baru-baru ini.
"Ini sudah dinyatakan tiga tahun yang lalu, kalau tidak salah, menjadi kota layak anak. Apa yang layak, karena kasus-kasus kekerasan (terhadap anak-anak) yang dilakukan oleh masyarakat di Depok sendiri cukup tinggi," jelas Arist kepada wartawan, Kamis (18/3/2021).
"Pertanyaan saya, apa yang dilakukan Pemerintah Depok terhadap kasus dan data-data yang terus meningkat?" tambahnya.
Insiden pemukulan oleh EP dianggap jadi momen yang tepat, sebab kekerasan itu dianggap Arist sebagai "kejahatan luar biasa".
Arist yang juga warga Tapos mendorong Pemerintah Kota Depok agar mengundang berbagai pihak terkait di luar pemerintah, seperti penegak hukum, aktivis perlindungan anak, dan para pakar dari universitas.
Hal itu upaya evaluasi status kota layak anak dapat dilakukan secara terbuka, bukan hanya dilakukan di internal Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, dan Keluarga (DPAPMK).
"Sebagai Ketua Komnas Perlindungan Anak dan warga Tapos, saya minta wali kota untuk mengevaluasi kota layak anak itu sebagai bagian dari memutus mata rantai kekerasan terhadap anak di Depok, melibatkan semua komponen yang peduli termasuk saya, mungkin saya sebagai warga Kecamatan Tapos ikut terlibat untuk memikirkan ini," katanya.
"Jadi duduk bersama membicarakan soal meningkatnya angka kekerasan terhadap anak, dihubungkan dengan program di mana Kota Depok itu statusnya kota layak anak," lanjut Arist.
"Ini kan tidak ada evaluasi sampai sekarang tidak ada evaluasi. Tidak pernah saya dilibatkan juga."
Terpisah, Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DPAPMK Kota Depok Mamik Juniarti menyebutkan bahwa jajarannya telah mendampingi korban setelah insiden pemukulan oleh EP.
"Penanganan dari awal, begitu ada terima telepon dari hotline kami, terutama saya sendiri langsung datang ke TKP. Kami langsung mendampingi pelaporan pada hari Minggu (14/3/2021) kemarin," kata Mamik.
"Pada hari itu juga kami mendampingi untuk visum di RSUD Kota Depok," imbuhnya.
Selepas itu, lanjut Mamik, pihaknya segera membuat situasi aman dan nyaman sebab ibunya masih menyusui korban.
"Kakaknya korban kan juga melihat (pemukulan) itu, jadi untuk kakak korban ke psikolog anak, untuk ibu korban itu psikolog dewasa, sudah kami mulai," jelasnya.
Insiden pemukulan oleh EP terhadap bayinya dilakukan pada Jumat pekan lalu. Ia kemudian ditangkap polisi empat hari setelahnya di tempat kerjanya di Citeureup, Kabupaten Bogor.
Kepada wartawan, EP mengaku khilaf.
Saat memukuli anaknya, ia mengaku sedang kesal lantaran istrinya belum juga pulang dan anaknya tak kunjung tidur, sedangkan ia mengaku sedang capek.
“Kan saya belum tidur sama sekali, kepala pusing waktu pulang kerja. Itu yang membuat saya kesal," kata EP kepada wartawan, Rabu (17/3/2021).
"Saya pukul doang, dua kali di wajah. Saya menyesal banget. Saya khilaf, tahu-tahu emosi begitu," lanjutnya.
Kapolres Metro Depok Kombes Imran Edwin Siregar mengatakan, polisi menjeratnya dengan Pasal 44 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Korban luka di mata, pecah mulut, terus lutut memar karena dibanting, punggungnya dicubit," jelas Imran kepada wartawan, Rabu.
“Ancaman hukumannya 10 tahun penjara,” tuturnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/18/16193131/insiden-ayah-pukuli-bayinya-komnas-pa-minta-depok-evaluasi-status-kota