JAKARTA, KOMPAS.com - Masjid berdiri di dekat bantaran Kali Ciliwung, Jakarta. Bentuk bangunan khas masjid Nusantara. Puncak atap berbentuk limas menunjuk arah mata angin.
Lokasinya berada di tengah permukiman warga, bisa dijangkau dengan menyusuri gang selebar tujuh meter dan berjarak lebih kurang 500 meter dari jalan layang Kampung Melayu.
Di papan, tertulis "didirikan kurang lebih tahun 1632 Masehi/1053 Hijriah".
Masjid Al-Atiq Kampung Melayu, nama masjid itu, yang berlokasi di Jalan Kampung Melayu Besar I, Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan.
Sore hari menjelang waktu berbuka puasa, aktivitas rutin bulan Ramadhan terlihat di masjid tersebut.
Masyarakat setempat mendatangi Masjid Al-Atiq. Mereka membantu pengurus masjid menyiapkan takjil.
Karpet digelar, piring-piring ditata, hingga pengeras suara dipasang dan dinyalakan.
"Untuk tahun ini, meskipun pandemi (Covid-19), kami tetap mengadakan pembagian takjil atau buka puasa bersama," kata Kepala Masjid, Fahri Mufti, saat ditemui di lokasi.
Aktivitas shalat tarawih juga masih digelar, seperti tahun-tahun sebelumnya. Itikaf pun demikian.
"Tetapi kami tetap menjaga protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, memakai masker, hingga mencuci tangan. Itu kami lakukan," ujar Fahri.
Sejarah yang belum terpecahkan
Awalnya, masjid bernama Masjid Kandang Kuda karena berada di perkampungan tukang Sado.
Namun, nama itu kemudian diganti menjadi Masjid Al-Atiq oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada era 1970-an.
Dilansir dari laman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, secara harfiah, Al-Atiq memiliki makna tertua.
Hal ini sesuai dengan sejarah lisan bahwa Masjid Al-Atiq sebagai masjid tertua di Jakarta.
Tak ada bukti otentik tentang kapan pastinya Masjid Al-Atiq dibangun. Namun, ada dua versi tentang sejarah masjid ini.
Versi pertama, menurut tetua setempat, masjid didirikan pada 1632 Masehi/1053 Hijriah.
Pendirinya pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang tengah berperang dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Letak masjid yang tak jauh dari tepi Kali Ciliwung memperkuat dugaan tersebut.
Sebab, pada jaman dahulu, pergerakan tentara memang selalu saja memanfaatkan sungai, baik sebagai transportasi maupun sumber minum.
Versi kedua menyebut Masjid Al-Atiq dibangun sekitar tahun 1500-an oleh sultan pertama Banten, Maulana Hasanudin, yang merupakan putra dari Sunan Gunung Jati.
Saat itu, masjid diberi nama Masjid Kandang Kuda. Setelah itu, baru pasukan Sultan Ageng yang merenovasi masjid tersebut.
Terlepas dari dua versi tersebut, Fahri, Kepala Masjid sejak 2018 itu mengatakan, masyarakat setempat tidak ada yang tahu pasti kapan Masjid Al-Atiq dibangun.
"Sebenarnya ini kalau berdirinya sejak kapan, kami nggak ada yang tahu," tutur Fahri.
Isu yang berkembang di masyarakat, kata Fahri, masjid dibangun pada 1632 Masehi.
"Itu berdasarkan dari sejarah purbakala. Karena saat itu ada benda yang pernah diambil sama ahli purbakala, akhirnya benda itu diperkirakan tahun sekian," ujarnya.
Alami beberapa kali renovasi
Masjid berlantai dua ini mengalami beberapa kali renovasi. Kendati demikian, unsur asli masjid tidak hilang.
Fahri tidak tahu persis berapa kali renovasi itu. Namun yang pasti, atap masjid sudah diganti dua kali.
"Dulu masjid ini atapnya dari kayu berwarna hitam, lalu diganti dengan atap beton. Sekarang pakai baja ringan," kata dia.
Tidak hanya atap, bagian-bagian masjid yang lain juga tak luput dari renovasi.
"Terakhir kemarin kami ganti keramik itu pada akhir tahun 2020," tutur Fahri.
Fahri menyebut, ada dua peninggalan dari masjid yang masih tersisa hingga kini, yakni ukiran kaligrafi mihrab imam masjid dan tongkat khatib.
"Ukiran kaligrafi (mihrab imam masjid) itu asli, belum pernah diganti," kata Fahri.
Sementara tongkat khatib disimpan di ruang sebelah mimbar masjid.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/05/10/05535551/masjid-al-atiq-kampung-melayu-dan-sejarah-yang-belum-terpecahkan