Pesan itu bukan sekadar pesan kosong belaka, melainkan pesan penuh makna yang disebut-sebut sebagai simbol para pahlawan kemerdekaan yang memberikan tongkat estafet pembangunan pada para penerus bangsa Indonesia.
Patung Arjuna Wijaya, orang-orang lebih sering menyebutnya sebagai patung kuda. Memang tak salah menyebutnya demikian, karena rentetan delapan kuda yang menarik kereta Arjuna dan dikusiri Batara Kresna itu lebih terlihat mencolok ketimbang dua tokoh wayang yang ada di belakangnya.
Patung ini memiliki panjang total 25,8 meter dengan tinggi 2,87 meter untuk figur kuda, dan 2 meter untuk figur arjuna.
Lebarnya 2,8 meter dan terletak di sisi perempatan antara Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jalan Budi Kemuliaan, dan Jalan MH Thamrin.
Arjuna terlihat gagah memegang busur panah, sedangkan Batara Kresna sibuk mengendalikan delapan kuda yang menarik kereta kencana mereka.
Berawal dari jalan protokol di Turki
Patung yang diresmikan pada 1987 saat Presiden Seoharto berkuasa ini memiliki banyak makna perjuangan.
Pembuat Patung Arjuna Wijaya, Nyoman Nuarta, mengatakan bahwa Patung Arjuna Wijata dibuat setelah Seoharto berkunjung ke Turki.
Saat berada di Turki, Soeharto melihat banyak monumen yang menjelaskan cerita masa lalu Negeri Dua Benua (julukan Turki) itu di jalan-jalan protokolnya.
Selepas kembali ke Jakarta, Soeharto menyadari belum ada patung yang bercerita tentang falsafah yang melambangkan sejarah kemerdekaan.
"Pak Harto waktu itu bilang, 'Jalan-jalan protokol kita belum punya monumen yang ada cerita filsafatnya.' Dia kemudian nyuruh, 'Cari dong cerita yang memuat filsafat Indonesia.' Akhirnya kita bikinlah dari kisah Perang Baratayuda," kata Nyoman, 11 Januari 2015.
Setelah ditentukan cerita Baratayuda, proses pembuatan Patung Arjuna Wijaya dipimpin oleh Nyoman Nuarta dan dikerjakan oleh 40 seniman lainnya.
Dikerjakan di Bandung, patung dengan bahan dasar tembaga itu menghabiskan uang Rp 300 juta untuk harga di tahun 1987.
Nilai falsafah Arjuna Wijaya
Nama Arjuna Wijaya diambil dari kisah peperangan besar Baratayuda yang dikisahkan dalam kitab Mahabarata atau kisah pewayangan Mahabarata.
"Arjuna Wijaya adalah ungkapan kata dari kemenangan Arjuna dalam membela kebenaran dan keberaniannya secara simbolis memberikan apresiasi terhadap sifat-sifat kesatriaan yang dahulu kala senantiasa dipahami masyarakat melalui cerita-cerita epos 'Mahabrata'. Fragmen tersebut menggambarkan bagaimana Arjuna dan Batara Kresna bertempur melawan Adipati Karna," demikian keterangan yang dikutip dari laman Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
Soeharto yang kala itu penikmat dunia pewayangan memilih Arjuna Wijaya karena melambangkan unsur kepemimpinan yang kuat yang tergambar dalam delapan kuda yang ditarik oleh Batara Kresna.
Makna pertama yaitu Surya yang berarti pemimpin harus mampu memberi semangat dan kehidupan bagi rakyat.
Kedua adalah Bulan atau Chandra, artinya harus mampu memberikan penerangan serta dapat membimbing rakyat yang sedang dalam kegelapan.
Ketiga, Bumi atau Pertiwi yang memiliki arti seorang pemimpin harus berwatak jujur, teguh, dan murah hati.
Keempat, Angin atau Bayu, bermakna pemimpin harus dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat.
Kelima, Hujan atau Indra, bermakna pemimpin harus berwibawa serta mampu mengayomi dan memberikan kehidupan seperti hujan yang turun menyuburkan tanaman.
Keenam, Samudra atau Baruna yang menggambarkan hati pemimpin yang luas menimbang sebelum memutuskan.
Tujuh, Api atau Agni, menggambarkan pemimpin harus tegas dan berani menegakkan keadilan.
Terakhir, Bintang yang memiliki arti sebagai contoh tauladan.
Setelah dibuka pada 1987, Patung Arjuna Wijaya sempat ditutup untuk renovasi dan dibuka kembali pasca-renovasi pada 11 Januari 2015.
Kisah pilu di balik kemenangan Arjuna
Terkait dengan Arjuna Wijaya, ada kisah pilu di balik kemenangan Arjuna saat melawan Adipati Karna di perang Baratayuda. Namun, kisah itu tak banyak dibahas.
Perang saudara antara Pandawa dan Kurawa itu menyisakan kisah pilu berkepanjangan, termasuk kisah kemenangan Arjuna yang membunuh kakak kandungnya sendiri, yaitu Adipati Karna.
Dalam cerita epos pewayangan, lima bersaudara Pandawa, yaitu Yudishtira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa merupakan anak dari Kunti yang dikenal sebagai seorang wanita mulia yang dekat dengan para dewa.
Sebelum Kunti melahirkan kelima pandawa, Kunti sebenarnya sudah memiliki anak, yang yaitu Adipati Karna. Kunti mendapat anak tersebut saat memuja Dewa Batara Surya.
Batara Surya kemudian menghadiahkan Kunti seorang anak yang keluar dari telinganya.
Bukan senang, Kunti malah takut dituduh menjadi wanita pezina karena melahirkan anak, padahal tidak pernah menikah atau berhubungan dengan manusia.
Akhirnya Kunti menghanyutkan Karna di Sungai Gangga, yang kelak ditemukan oleh orangtua angkat, yaitu Adirata yang bekerja sebagai seorang kusir.
Saat perang Batarayuda pecah, Kunti meminta Karna memihak Pandawa, tetapi Karna tidak menginginkan hal itu karena selama ini adik-adiknyalah yang mengejek Karna sebagai seorang anak tukang kusir.
Ejekan itu terlontar karena Pandawa tidak mengetahui bahwa Adipati Karna adalah kakak sulung mereka.
Sementara itu, Duryudana, anak sulung dari Destrarastra yang juga pemimpin pasukan Kurawa, justru mengakui Adipati Karna sebagai seorang brahmana, bukan sebagai seorang anak kusir.
Sebagai sikap ksatria, Karna memilih untuk tetap membela orang-orang yang menghargai dirinya sebagai seorang yang derajatnya ditinggikan.
Namun, Karna yang ingin mengalah pada adik-adiknya meminta kepada Kunti untuk tidak memberi tahu Pandawa soal kebenaran bahwa Karna adalah kakak sulung Pandawa.
Saat perang Baratayuda, Karna akhirnya tewas di tangan adiknya sendiri, yaitu Arjuna.
Setelah panah Arjuna menembus leher Karna, berita tentang putra sulung Kunti meninggal dunia terdengar ke seluruh pasukan Pandawa.
Saat itu, kelima anak Kunti yang disebut Putra Pandu menangis terisak karena membunuh saudaranya sendiri.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/08/12/13102711/soeharto-dan-falsafah-mahabarata-di-patung-arjuna-wijaya-jakarta-pusat