Sosiolog Universitas Indonesia Daisy Indira Yasmine beranggapan bahwa fenomena ini bisa disebabkan oleh dua hal.
Pertama, kota semakin krisis ruang publik. Ruang-ruang sosial yang dapat mempertemukan warga dari segala kelas sosial sangat langka.
"Manusia silver sendiri sebenarnya bagian dari seni street performance (pertunjukan jalanan). Biasanya, street performace dilakukan di area-area publik di kota. Street performance sebenarnya juga bagian dari seni kota," ungkap Daisy kepada Kompas.com pada Jumat (8/10/2021).
"Sebagai bentuk seni, sebenarnya manusia silver tidak perlu dilarang dan ditertibkan," tambahnya.
Jika ini menjadi akar masalahnya, maka pemerintah kota didesak untuk merancang pembangunan dengan memikirkan ketersediaan ruang-ruang publik.
Ruang-ruang publik ini harus inklusif, terbuka, dan dapat diakses semua warga.
Menciptakan ruang publik tak selesai dengan membangun taman atau menyediakan ruang terbuka, tetapi harus dengan perencanaan matang.
"Perbanyaklah area publik untuk menyalurkan street performance dengan perencanaan yang partisipatif, buat kurikulum pendidikan yang dapat mengakomodasi berbagai talenta, termasuk untuk mereka yang memiliki talenta sebagai pekerja seni," jelas Indira.
Tiada opsi untuk memilih nafkah
Akar masalah kedua yakni kemiskinan struktural. Seni ini menjadi alternatif bagi kalangan yang aksesnya terbatas pada lapangan kerja, khususnya kaum muda yang terimpit atau terasing secara struktur.
Mereka kesulitan mengakses pekerjaan karena sedari awal juga sudah miskin akses terhadap, misalnya, pendidikan formal.
"Manusia silver ini bukan sekadar seni tetapi menjadi alternatif lapangan kerja bagi sebagian warga kota, terutama mereka yang memiliki akses terbatas pada lapangan kerja lain," kata Daisy.
Fenomena manusia-manusia silver di perkotaan saat ini perlu diselisik lebih jeli, ucap Daisy, apakah memang upaya sporadis dari para seniman jalanan, atau mereka justru dipekerjakan lantaran tidak adanya lapangan pekerjaan lain yang bisa mereka akses.
"Perlu dicermati pengorganisasian dari manusia silver ini. Apakah memang murni pekerja seni atau lebih kepada mobilisasi? Apakah terjadi praktik eksploitasi di dalam pengorganisasian tersebut?" lanjutnya.
Oleh karena itu, langkah pemerintah merazia, menangkap, atau coba berbaik hati dengan memberikan pelatihan kerja, boleh jadi bukan solusi yang tepat untuk menjawab akar permasalahannya.
"Ini metode yang kurang partisipatif dan cenderung deterministik. Yang perlu dilakukan adalah berusaha memahami kebutuhan mereka," tambahnya.
"Maka, pelatihan usaha tanpa diikuti dengan akses ke modal dan ruang usaha juga akan menjadi ritual semata bagi mereka (manusia-manusia silver dan pengamen)," sebut Daisy.
Kemiskinan struktural dan anak-anak
Fenomena munculnya manusia silver di perkotaan pun kini mulai diiringi dengan tren pelibatan anak-anak.
Di Tangerang Selatan, seorang bayi 10 bulan turut dijadikan manusia silver. Peristiwa ini menyedot perhatian banyak pihak, hingga Kementerian Sosial turun tangan.
Di Depok, Komnas Perlindungan Anak menemukan bahwa manusia-manusia silver kini turun ke jalan berkeluarga.
"Di Kota Depok saja berdasarkan data terkonfirmasi ditemukan 200 manusia silver yang melibatkan anak balita, bayi, dan ibu," ungkap Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dalam keterangan tertulis pada 27 September 2021.
Yang jelas, pemerintah diminta tidak menggunakan pendekatan seperti terhadap pelaku kriminal untuk mengatasi masalah kemiskinan struktural seperti saat ini.
Terlebih lagi, masalah kemiskinan semakin kusut setelah pandemi Covid-19 melanda.
Pemerintah Kota Depok, misalnya, melalui Satpol PP secara berkala melakukan razia terhadap kelompok yang mereka sebut sebagai pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial atau PPKS, termasuk di dalamnya manusia silver dan pengamen.
Razia ini merupakan penerjemahan atas Perda Pengawasan dan Pembinaan Ketertiban Umum. Masyarakat bahkan dilarang untuk menyedekahi PPKS di jalanan.
"Dari data yang dikumpulkan dari berbagai sumber manusia silver, banyak bermunculan manusia silver di Depok disebabkan merebaknya pandemi Covid-19," lanjut Arist.
"Banyak anggota masyarakat Depok yang semula berprofesi sebagai pemulung, sopir angkot, dan pedagang kaki lima terpaksa berpindah profesi sebagai keluarga manusia silver," ia menambahkan.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/10/08/17122901/maraknya-manusia-silver-tanda-pemerintah-gagal-sediakan-ruang-publik-dan