JAKARTA, KOMPAS.com - Rudi Hartono, salah satu nelayan di KM Mutiara Jaya, mengeluh kerap kesulitan mendapatkan solar untuk kapalnya.
Dia merasa tidak ada keadilan dalam pendistribusian solar. Sebab, kapal-kapal besar bisa mendapatkan solar, sementara nelayan sepertinya dirinya harus bersusah payah.
"Bahan bakar, rakyat kecil selalu ditindas. Contohnya perahu gede-gede saja bisa dapat (bahan bakar), sementara kami, jangankan puluhan drum, satu dirigen saja kami kayak mengemis, padahal beli, bukannya minta," kata Rudi, saat ditemui di Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (8/4/2022).
Biasanya, Rudi membeli bahan bakar di pengepul atau pom bensin. Namun, terkadang dia tidak bisa mendapatkan solar.
Bahkan, kata dia, jika membeli solar di pom bensin, pengelola meminta surat-surat terlebih dahulu. "Padahal kami beli, uang halal sendiri," kata Rudi.
Rudi menuturkan, pekerjaannya sebagai nelayan tidak selalu mulus. Selain kendala mendapatkan bahan bakar, dia juga kerap menghadapi persoalan lain, seperti mesin kapal yang rusak, jaring yang menyangkut, hingga tak dapat ikan sama sekali.
"Ini juga dapat segini alhamdulillah," ujar Rudi yang baru saja melaut di sekitar Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu itu.
"Ini kebetulan cuacanya enggak enak, anginnya datang, sebenarnya kalau lagi bagus dapat saja Rp 50.000 (sehari)," kata dia.
Rudi juga mengeluhkan pendapatannya sebagai nelayan yang tidak pernah pasti. Meski demikian, dia tetap bersyukur bisa mendapatkan uang halal meski hasilnya tak seberapa.
"Namanya nelayan itu enggak pasti, kadang dapat kadang enggak, cuma ya beginilah keadaannya. Kita orang enggak punya, mau kerja apa lagi" ucap Rudi yang sudah menjadi nelayan sejak 1993 itu.
"Daripada panjang tangan banyak yang suka menghalalkan segala cara, lebih baik kita begini. Dapat Rp 1.000 juga halal, Rp 100.000 halal," sambungnya.
Kru kapal yang diawaki Rudi ada 9 hingga 10 orang. Kapalnya berlayar dari Banten dan kerap berkeliling ke pelabuhan-pelabuhan lainnya. Tidak hanya Muara Angke tapi juga ke Tanjung Priok, Muara Gembong, hingga Pulau Laki.
"Ikan di laut kadang banyak, kadang sedikit. Banyaknya paling 5 kuintal. Kita dibagi hasil dulu sama yang punya perahu. Misalnya penjualan Rp 2 juta, potong perbekalan Rp 1 juta (makan, solar, rokok), Rp 1 juta bagi-bagi paling ya Rp 50.000 sekali melaut," kata dia.
Namun jika hasil tangkapan ikan melimpah, Rudi pun bisa mengantongi Rp 200.000 hingga Rp 300.000 dalam sehari.
Dia mengatakan, hasil yang tak tentu itu selalu dicukupkan untuk kehidupan sehari-hari keluarganya.
Rudi juga tidak memiliki usaha sampingan lain sehingga hanya mengandalkan penghasilan dari melaut saja.
"Pernah coba usaha lain di darat tapi larinya ke laut-laut juga. Jualan pernah, mulung pernah. Sekarang hanya dari nelayan saja (penghasilannya)," ucap dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/08/17141901/nelayan-di-muara-angke-keluhkan-sulitnya-memperoleh-bahan-bakar