JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Muda di Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada, Arif Novianto, menyoroti mirisnya nasib para kurir ekspedisi yang berstatus sebagai mitra.
Ia menilai skema kemitraan yang ditetapkan perusahaan ekspedisi itu adalah kemitraan palsu, karena kurir justru tidak mendapatkan hak-haknya sebagai mitra.
"Para kurir diklasifikasikan sebagai mitra, tetapi pada praktiknya mereka tidak mendapatkan hak-hak mereka," kata Arif kepada Kompas.com, Kamis (22/9/2022).
Arif mengatakan, hak-hak mitra tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.
Jika mengacu pada aturan itu, maka mitra posisinya setara, tidak ada yang menguasai dan dikuasai, dan berprinsip saling menguntungkan, membutuhkan, memperkuat, dan mempercayai.
"Pada praktiknya, keputusan dilakukan sepihak oleh perusahaan, artinya tidak ada posisi yang setara. Hal ini yang saya sebut sebagai 'kemitraan palsu'," kata Arif.
Arif menilai kurir lebih tepat diklasifikasikan sebagai pekerja karena ada unsur pekerjaan dan perintah yang harus dijalankan oleh mereka.
Oleh karena itu, harusnya kurir terikat pada UU Cipta Kerja dan mendapatkan hak mereka sebagai pekerja.
"Sebagai buruh, maka kurir harusnya berhak atas upah minimum, jam kerja 8 jam sehari atau 40 jam per minggu, jaminan kesehatan, dan lain-lain," kata Arif.
Namun, perusahaan ekspedisi lebih senang mempekerjakan kurir sebagai mitra untuk menghemat pengeluaran.
Dengan status mitra, maka perusahaan tak perlu membayar gaji bulanan sesuai upah minimum serta tunjangan lainnya.
Perusahaan cukup membayar upah kurir untuk tiap paket yang diantarkan.
Bayarannya juga relatif rendah, mulai dari Rp 1.500 per paket.
Lebih parahnya lagi, banyak kurir yang sudah berstatus karyawan tetap justru dipecat lalu dialihkan statusnya jadi mitra.
"Tujuannya tentu untuk memangkas ongkos produksi, tetapi dampaknya membuat kurir menjadi bekerja dalam kondisi rentan dan bayaran tidak manusiawi," kata Arif.
Ia pun meminta pemerintah untuk bersikap tegas pada perusahaan ekspedisi atas masalah kemitraan palsu ini.
"Pemerintah perlu melakukan penegakan hukum sesuai regulasi yang berlaku, yaitu untuk memastikan layak tidaknya pekerjaan sebagai kurir diklasifikasikan sebagai kemitraan," katanya.
Langkah mengalihkan status kurir dari karyawan jadi mitra belum lama ini dilakukan PT SiCepat Ekspres.
Total, ada 14 karyawan Sicepat Ekspress di Jakarta yang dipecat dan hendak dialihkan statusnya menjadi mitra.
Tak terima dengan keputusan itu, puluhan kurir SiCepat pun melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Pusat Sicepat Ekspress di kawasan Juanda, Gambir, Jakarta Pusat, pada Selasa (20/9/2022).
Salah satu kurir Sicepat bernama Ilham yang ikut dalam aksi itu menyatakan, pengalihan status dari karyawan menjadi mitra jelas merugikan.
Sebab, mitra tak mendapatkan hak-hak layaknya karyawan.
"Kalau karyawan jelas, ada gaji per bulan sesuai UMR, ada tunjangan lain-lain juga," kata Ilham kepada Kompas.com, Selasa (20/9/2022).
"Kalau mitra, enggak ada gaji, enggak ada THR. Upahnya sesuai paket yang diantar," sambungnya.
Upah yang didapat oleh mitra, kata dia, juga tergolong sangat rendah.
Mitra kurir Sicepat hanya mendapatkan upah Rp 1.500 per paket.
Jika berhasil mengantarkan paket dalam jumlah tertentu dalam sehari, baru lah mitra kurir akan mendapatkan tambahan insentif.
Sementara itu, kendaraan bermotor dan uang bensin juga harus disiapkan sendiri oleh para kurir.
Padahal, harga BBM juga baru saja dinaikkan oleh pemerintah.
"Tuntutan kami adalah, mempekerjakan lagi 14 orang ini sebagai karyawan, serta menolak alih daya karyawan sebagai mitra," kata Ilham.
Rangga Andriana, Manager Corporate Communication SiCepat Ekspres menyatakan, peralihan status dari karyawan menjadi mitra outsorcing ini dilakukan dalam rangka perubahan strategi bisnis.
Pihak perusahaan sebelumnya telah berkomunikasi dengan pekerja sampai dengan menggelar perundingan bipartit dengan pekerja dan serikat pekerja terkait dengan pengalihan status 14 karyawan menjadi mitra.
"Yang mana pengalihan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akan tetapi usaha kami tersebut masih belum menemukan kesepakatan dengan pekerja maupun serikat pekerja," kata Rangga.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/09/23/13412711/kurir-ekspedisi-dibayar-rp-1500-per-paket-peneliti-ugm-kemitraan-palsu