TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Kepala unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Tangerang Selatan Tri Purwanto mengatakan, mayoritas pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan di Tangsel merupakan orang terdekat.
"Kejadian terbanyak di rumah tangga dengan orang terdekat sebagai pelaku," ujar Tri saat ditemui di kantornya, Rabu (11/1/2023).
"Memang rata-rata pelaku kekerasan adalah orang terdekat yang dikenal oleh korban, baik itu sebagai paman, kakek, ataupun tetangga," lanjut dia.
Tri menduga, hal itu terjadi lantaran pola asuh dan komunikasi yang buruk antara korban dengan orangtua atau keluarganya.
Mayoritas yang menjadi korban kekerasan di Tangsel berkisar usia 17 tahun ke bawah atau usia di bawah umur. Itu menandakan bahwa anak rentan menjadi korban kekerasan.
Terlebih, anak mudah untuk dirayu atau dibujuk untuk melakukan sesuatu dengan iming-iming suatu imbalan.
Bisa juga korban anak mendapatkan ancaman verbal dari pelaku agar tidak mengadukan yang dialaminya tersebut kepada siapa pun.
"Misal terjadi dari luar rumah tangga, ketahuannya dia (korban) mengeluh sakit ke orangtuanya. Biasanya korban mendapat ancaman verbal dari pelaku, makanya dia takut untuk mengadu," jelas Tri.
Terdapat 315 kasus kekerasan yang ditangani P2TP2A Tangsel pada periode 1 Januari-31 Desember 2022.
"Angka kekerasan yang diterima P2TP2A Tangsel selama 2022 itu 315 kasus. Dengan rincian korban anak laki-laki 63, anak perempuan 104, dan perempuan dewasa 148 orang," kata Tri.
Sebanyak 297 kasus terjadi di wilayah Tangsel dan melibatkan korban yang merupakan warga Tangsel.
Sedangkan 18 kasus lainnya tercatat sebagai kategori di luar Tangerang Selatan.
Jumlah 18 kasus itu meliputi warga Tangsel yang menjadi korban kekerasan di luar wilayah Tangsel, atau warga luar yang menjadi korban kekerasan di wilayah Tangsel.
Jumlah kasus yang ditangani P2TP2A Tangsel tahun 2022 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya 179 kasus.
"Tahun sebelumnya pada 2021 data totalnya 179. Ada peningkatan kasus," jelas Tri.
Tri menilai, semakin banyaknya kasus yang ditangani merupakan hal yang positif pada penindakan kasus perempuan dan anak.
Selain itu, ia juga mengapresiasi warga yang berani melaporkan kejadian kekerasan tersebut.
Menurut dia, semakin banyak kasus merupakan indikasi keberhasilan sosialisasi yang selama ini dilakukan.
"Keberhasilan kita dalam melakukan sosialisasi di masyarakat, di dunia pendidikan atau di instansi, itu sudah aktif dari Agustus 2022. Makanya apa yang dilakukan dinas membuat orangtua atau korban berani melapor ke kita," jelas Tri.
"Ini justru bukan buruk, tapi inilah pengetahuan yang ingin kita sampaikan bahwa setiap kejadian kekerasan harus dilaporkan," lanjut dia.
Tri menegaskan, tidak semua kasus yang menyangkut anak dan perempuan harus berujung pada penyelesaian hukum.
Akan tetapi, masih ada upaya untuk mediasi sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku.
Jika yang dibutuhkan korban merupakan penanganan trauma healing, maka P2TP2A akan memberikan layanan psikolog.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/01/11/18051741/mayoritas-pelaku-kekerasan-anak-dan-perempuan-adalah-orang-terdekat