Sebelum banting setir, Fitri yang rumahnya berada di pinggir Jalan Rorotan IX lebih dulu membuka warung kelontong pada 2010.
Namun, begitu kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, kondisi mulai berubah.
Saat itu Fitri mengaku masih biasa saja kendati Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Toh, celetuk Fitri, lokasi pasien pertama Covid-19 di Depok sangat jauh dari kediamannya.
Akan tetapi, Fitri mulai gemetar ketika wabah virus corona mulai menyebar ke beberapa titik di Jakarta.
Warung kelontong mulai sepi seiring dengan kebijakan pemerintah mengenai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Fitri semakin khawatir karena lahan seluas 25 hektar yang hanya berjarak 20 meter dari rumahnya dijadikan Pemprov DKI Jakarta sebagai TPU khusus jenazah pasien Covid-19.
"Warga sini kan sempat kaget, takut. Ya tahunya memang buat makam, tapi enggak tahu kalau untuk jenazah Covid-19," ungkap Fitri saat ditemui Kompas.com di sela-sela berjualan kembang pada Selasa (21/3/2023).
Sejak lahan tersebut dijadikan sebagai TPU khusus jenazah Covid-19, imbasnya usaha warung Fitri menjadi sepi karena pelanggan ketakutan mendengar dan melihat ambulans silih berganti melintas di depan warung kelontongnya.
Bahkan, ambulans sampai parkir di depan warung kelontong Fitri untuk mengantre mengantar jenazah ke TPU.
"Sampai saya teleponin langganan saya. 'Kenapa enggak ada yang ke sini?', 'Takut, Bu, banyak ambulans'. Kayak begitu. Yang tadinya langganan saya banyak, sampai anjlok," ucap Fitri.
"Saya pun juga takut. Orang-orang TPU saja yang mau belanja ke sini, masih pakai APD, saya setop di depan, enggak boleh masuk sama saya. Memang suasananya sangat mengerikan saat itu," ungkap Fitri lagi.
Ketika kondisi saat itu terasa mengimpit, Fitri berpikir bahwa hidup harus tetap berjalan. Ia harus menghidupi tiga anaknya, yang dua di antaranya tengah mengemban pendidikan di pondok pesantren.
Fitri kemudian mencoba berjualan pakaian dan memasarkannya melalui media sosial. Sayangnya, usaha tersebut tidak membuahkan hasil maksimal.
Uang yang didapatkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Fitri dan keluarga.
"Kan enggak langsung transfer. Orang pada suka PHP. Saya pikir, 'Enggak beres nih kalau begini saja, anak gue mau makan apa? Hidup mesti berjalan'," tutur Fitri.
Tak patah arang, Fitri mencari peruntungan dengan berjualan kembang di depan rumahnya untuk para pelayat atau peziarah TPU Rorotan. Usaha kecil-kecilan ini dia rintis pada Agustus 2021.
Kata Fitri, tidak masalah tabungan Rp 1.000.000 dipakai untuk modal. Menurut dia, upaya bertahan hidup di tengah gempuran wabah virus corona tetap harus berjalan.
"Saat itu, intinya, buat memenuhi kebutuhan sehari-hari saja dulu. Ketimbang harus topang dagu, melihat ambulans lalu-lalang? Mau berharap sama siapa? Ya mending saya coba jual kembang," ungkap Fitri.
Fitri tidak menyangka bahwa ia bisa cepat balik modal. Pendapatan kotor per hari bisa mencapai Rp 500.000 hingga Rp 600.000 pada saat itu.
Sekarang, Fitri bernapas lega. Ia berhasil melewati masa-masa pandemi Covid-19 dengan berjualan kembang.
Bahkan, Fitri tetap melakoni jual kembang hingga sekarang.
"Pendapatannya lebih banyak inilah (berjualan kembang). (Kini warung kelontong) asal ada saja ini sekarang. Ibaratnya mah memang karena tempatnya sudah di sini, mumpung dekat makam, ya sudah," imbuh Fitri.
Tanpa segan, Fitri pun mengungkapkan pendapatan kotornya yang sekarang.
"Kalau hari biasa mah sedikit, paling Rp 200.000. (Jelang puasa) baru ramai lagi. Bisa Rp 2 juta, atau Rp 1,5 juta satu hari," ucap Fitri.
"(Kemarin Minggu) hampir Rp 3,5 juta. Itukan ramai banget, sampai macet di sini," kata Fitri.
Ya, Fitri bersyukur karena di balik musibah, Tuhan akan memberikan keberkahan untuk orang yang ingin berusaha.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/03/21/15431411/kini-fitri-kantongi-rp-35-juta-per-hari-dari-jual-kembang-di-tpu-rorotan