DEPOK, KOMPAS.com - Paian Siahaan, ayah Ucok Siahaan, menuturkan bahwa putranya mulai prihatin dengan gejolak politik Indonesia saat MPR melantik Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia pada 11 Maret 1998.
"Waktu Soeharto diangkat lagi jadi Presiden, banyak mahasiswa yang resah dengan kondisi itu. Mulai saat itu, Ucok mulai memperlihatkan keprihatinannya," tutur dia di kediamannya di Beji, Depok, Senin (22/5/2023).
Demikian Paian mengawali kisah anaknya, Ucok Siahaan, salah satu aktivis yang dihilangkan paksa pada Mei 1998.
Paian kemudian bertutur kembali. Menurut dia, anak keduanya itu sudah prihatin dengan kondisi politik Nusantara sejak 1997.
Namun, pada awal dan pertengahan tahun itu, Ucok disebut masih tidak terlalu memperlihatkan kekhawatiran akan lamanya pemerintahan Soeharto berlangsung.
"Baru kelihatan pada akhir 1997. Suka telepon mamanya soal persediaan bahan pokok," ungkap Paian.
"Saya beranggapan, karena dia sudah melihat kondisi dan tanda-tanda akan rusuh pada 1998, dia menyuruh menyetok bahan-bahan pokok, berarti tau sesuatu," sambung dia.
Aktif sejak indekos
Pada akhir 1997, Paian sekeluarga pindah ke rumahnya saat ini di Depok.
Kala itu, kawasan Beji masih sepi penghuni. Moda transportasi umum seperti angkot pun belum ada.
Hanya ada becak yang sesekali melintas untuk membawa warga setempat ke stasiun terdekat.
Di stasiun pun, gerbong kereta api masih bisa digunakan oleh para pedagang untuk berjualan.
Melihat minimnya frekuensi tukang becak melintas, kondisi kereta api yang sangat padat, dan jarak tempuh menuju Jakarta yang agak jauh, Ucok tidak kuat.
"Ucok bilang, dia enggak kuat kalau harus berangkat kuliah dari Depok. Akhirnya ngekos. Dia enggak pergi pulang (PP) Depok-Perbanas," ucap Paian.
Bahkan, Ucok tidak sempat tinggal di Depok karena langsung ngekos..
Pada saat yang sama, Ucok beberapa kali menghubungi orangtuanya untuk menyiapkan dan menyetok bahan-bahan pokok.
"Dia kayaknya mulai ikut-ikutan (gerakan politik mahasiswa) setelah ngekos. Kalau pas rumah di Ciputat, dia enggak ada keliatan mengikuti organisasi-organisasi begitu," kata Paian.
Akan tetapi, Ucok tidak pernah membicarakan tentang politik setiap kembali ke Depok untuk mengambil ongkos.
Selama berbincang dengan orangtuanya lewat telepon umum, topik itu pun selalu absen dibicarakan.
Inilah mengapa keluarganya tidak ada yang mengetahui apakah Ucok benar-benar terlibat dalam aksi mahasiswa pada Mei 1998.
"Mulainya dia aktif ikut aksi-aksi seperti itu juga saya enggak tahu," ungkap Paian.
Namun, ia menaruh kecurigaan ketika Ucok tidak pernah kembali sejak 10 Mei 1998, dan bertepatan dengan kabar bahwa ada banyak kasus penculikan yang menimpa para aktivis yang berdemo pada bulan itu.
Semasa era Orde Baru, Soeharto melakukan segala cara untuk mempertahankan kuasanya.
Ia meredam segala kritik yang ditujukan, bahkan dengan lewat cara kekerasan. Sejumlah aktivis diculik.
Beberapa dilepaskan, namun sebagian tak pernah kembali hingga kini.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, terdapat 23 orang telah dihilangkan oleh negara.
Dari angka penculikan tersebut, satu orang dinyatakan meninggal, yaitu Leonardus Gilang, sembilan orang dilepaskan, dan 13 lainnya masih menghilang sampai saat ini.
Dari 13 aktivis yang statusnya masih sebagai orang hilang, salah satunya adalah Ucok Munandar Siahaan.
Menurut kesaksian seorang temannya dan Paian, Ucok diculik beberapa hari sebelum ulang tahunnya dan dilaporkan terakhir terlihat pada 10 Mei 1998 sekitar pukul 20.00 WIB.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/05/24/09583161/ucok-aktivis-98-mulai-prihatin-dengan-gejolak-politik-indonesia-usai