JAKARTA, KOMPAS.com - Kemacetan lalu lintas masih menjadi momok bagi para pekerja di Jakarta hampir setiap hari. Terjebak berjam-jam di jalanan sudah jadi biasa.
Target memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum belum berhasil meski jumlah armada dan cakupan layanan Transjakarta semakin meningkat setiap tahunnya.
Menurut Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, sejumlah kebijakan untuk mengurai kemacetan masih terus menghadapi kendala.
"Beberapa solusi yang diterapkan belum efektif. Kebijakan three in one hingga ganjil genap tidak memberikan solusi yang mujarab," ucap Djoko dalam penjelasannya kepada Kompas.com, dikutip pada Kamis (22/6/2023).
Djoko mengungkit soal pelarangan penggunaan sepeda motor pada 2017. Pada 2018, Mahkamah Agung (MA) justru memutuskan mencabut larangan sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin hingga Merdeka Barat berdasarkan prinsip hak asasi.
Selain itu, jalur sepeda yang dibangun dengan harapan akan makin banyak digunakan warga di Jakarta untuk jarak dekat juga gagal.
"Bisnis penyewaan sepeda (bike sharing) tidak berhasil dan perlu dievaluasi. Banyak onggokan sepeda yang terlihat rusak di beberapa lokasi," kata dia.
Terakhir, kebijakan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) juga tertunda akibat sudah mendekati tahun politik. Ada kekhawatiran anggota dewan tidak terpilih karena kebijakan tidak memihak calon pemilihnya.
"Padahal, ERP dinilai mampu mengurangi kemacetan lalu lintas, mempersingkat waku tempuh, meningkatkan keselamatan lalu lintas dan merubah perilaku masyarakat dalam berlalu lintas," kata dia.
Tak bisa sendirian
Kendati demikian, Djoko berujar, Jakarta tak bisa berjalan sendirian karena salah satu penyebab macet masih jadi "kawan" setia adalah perbaikan layanan angkutan umum di Ibu Kota tidak diikuti oleh daerah penyangganya.
"Baru dua daerah yang memiliki angkutan umum, yakni Kota Bogor (Bus Trans Pakuan) dan Kota Tangerang (Bus Tayo)," ucap Djoko.
Menurut Djoko, Jakarta tidak akan bisa sendirian atasi kemacetannya. Kota Jakarta butuh mitra pendukung untuk berani melakukan kebijakan push strategy.
"Apalagi, masyarakat yang beraktivitas di Jakarta tidak hanya warga Jakarta, namun warga Bodetabek sebagai daerah penyangga Ibukota Jakarta," kata Djoko.
Ia mengungkapkan, pertumbuhan penduduk yang pesat di Jakarta menjadi dua kali lipat dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun. Di samping itu, lebih dari 60 persen penduduk bergantung pada kendaraan pribadi.
Untuk mengurai kemacetan yang disumbang dari wilayah penyangga, kata dia, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat berkoordinasi dengan wilayah penyangga melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
"Strategi push (mendorong) dan pull (menarik) dalam mengurai kemacetan di Jakarta perlu segera diterapkan," kata dia.
Jadi parameter daerah lain
Menurut Djoko, Jakarta selalu menjadi panutan pembenahan transportasi di daerah. Kebijakan angkutan umum di Jakarta nantinya akan diikuti daerah.
Meski layanan transportasi umum mulai membaik, hal itu belum bisa mengurangi kemacetan yang disebabkan program push strategy tidak berjalan maksimal.
Djoko mengatakan, Jakarta sudah membuktikan dalam penyelenggaraan angkutan umum sebaik sekarang lantaran sudah dimulai 20 tahun yang lalu.
Pada 2045, demi menggapai Indonesia Emas, Djoko mengatakan perlu ada dukungan untuk meningkatkan kualitas angkutan umum di Indonesia.
"Maka dari itu, pembenahan angkutan umum di kota-kota seluruh Indonesia mulai sekarang harus direncanakan seperti halnya Kota Jakarta 20 tahun lalu," ucap Djoko.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/06/22/07053861/hut-ke-496-dki-jakarta-macet-masih-jadi-kawan-setia