Perempuan 41 tahun itu mendapatkan kepastian ini berdasar hasil diagnosis kesehatan anaknya pada 2008.
Kala itu, anaknya yang bernama Anita (bukan nama sebenarnya) masih berusia tujuh bulan. Kondisi kesehatan sang anak yang kurang baik mengharuskan Sarah bolak-balik ke rumah sakit.
Akan tetapi, Sarah tidak langsung membawa Anita untuk melakukan tes HIV pada saat itu.
“Saya masih denial, merasa anak saya pasti enggak tertular walaupun saya positif. Ternyata waktu dirawat lagi dan dites di RSCM ternyata hasilnya positif (HIV). Dari situ mulai pengobatan sampai sekarang (setelah 15 tahun berselang),” kata Sarah saat dihubungi Kompas.com, Senin (24/7/2023).
Kilas balik ke belakang, Sarah mengetahui dirinya terinfeksi HIV setelah almarhum suami dirawat di rumah sakit atas berbagai komplikasi penyakit yang dideritanya.
Dia dan suami diharuskan menjalani tes HIV. Kala itu mereka mendapatkan hasil positif.
“Waktu itu (2008) saya belum masuk (pakai) obat. Saya merasa masih sehat-sehat saja,” ujar Sarah.
Namun, kesehatannya memburuk pada 2011. Awalnya Sarah merasa pasrah dan menyerah dengan keadaan, dia sempat berpikir mengikuti jejak almarhum suaminya.
“Cuma saya mikir lagi. Selama ini saya selalu membuat anak saya supaya sehat dan kuat. Kenapa saya menyerah dengan diri sendiri?” sambung dia.
Tantangan beri pengertian pada anak
Orang dengan HIV diharuskan menjalani pengobatan anti retro viral (ARV) secara rutin. Hal itu diterapkan oleh Sarah untuk dirinya sendiri dan pada buah hatinya. Bahkan, dia mengatur alarm khusus di ponselnya sebagai pengingat untuk minum obat.
Seiring berjalannya waktu, timbul rasa jenuh dan ingin tahu dari anak sulungnya itu. Anita heran karena merasa hanya dia yang harus minum obat secara rutin di antara teman-temannya.
“Itu waktu (anaknya) umur tujuh tahun. Dia menanyakan kenapa selalu minum obat, padahal enggak sakit. Saya bilang sama dia kalau itu obat cantik, ‘Nanti kulit kamu bagus’,” ujar Sarah sambil tersenyum sedih.
Pertanyaan itu kerap muncul di kepala Anita, lalu kembali dilontarkan kepada Sarah sewaktu usianya sekitar 9-10 tahun.
“Dia bilang, ‘Ma, aku bosan minum obat melulu’. Aku bilang, aku akan jawab pertanyaan dia kalau dia sudah siap,” lanjut ibu dua anak itu.
Setelah yakin anaknya sudah bisa menjaga rahasia, Sarah akhirnya menjawab pertanyaan Anita sewaktu usianya 11 tahun.
“Sama kayak mama, kamu minum obat karena di dalam tubuh kamu ada virus namanya HIV,” tutur Sarah, menirukan ucapan saat dia menjelaskan soal kondisi tubuhnya kepada sang anak.
Reaksi Anita, awalnya terkejut dan tidak mengerti mengapa dirinya bisa ikut tertular virus itu.
Hingga saat ini, kata Sarah, sang anak masih belajar untuk menerima kenyataan kondisi kesehatannya itu.
“Saya bilang, ini sudah jadi jalan Allah. Ini rezeki, ‘Kita yang kena virus ini karena kita kuat’” imbuh dia.
Selain itu, setelah Sarah menjelaskan asal-mula virus ini, dia juga meminta agar Anita tak membenci ayahnya.
“Jangan pernah menyalahkan ayah kamu. Ayah juga mungkin kalau tahu pergaulan seperti ini enggak akan menularkan ke kita. Kita dicoba (oleh Tuhan) untuk kita kuat,” kata Sarah.
Takut akan stigma masyarakat
Atas virus yang menyertai mereka, Sarah meminta Anita untuk merahasiakannya. Lantaran, Sarah tidak ingin anaknya dijauhi dan didiskriminasi oleh orang-orang di sekitar mereka.
“Saya bilang, ‘Intinya kamu jangan cerita sama siapapun, walaupun teman dekat kamu. Itu bisa jadi bumerang buat kamu’. Karena belum tentu mereka menerima kami. Stigma diskriminasi itu masih kenal, karena mereka belum paham,” tutur dia.
Ke depannya, Sarah berharap masyarakat dapat lebih menerima dan mendukung orang-orang yang hidup dengan HIV.
“Bukalah mata dan hati kalian. Jangan pernah menganggap kami kotor, buruk, menjijikan karena kami memiliki status HIV. Karena kami juga orang yang terdampak dengan penularan HIV dari pasangan,” ujar Sarah.
“Kami juga layak mendapatkan hidup sehat, hidup bahagia di lingkungan masyarakat tanpa menstigma, mendiskriminasi, dan menjauhi kami,” pungkas dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/07/24/22005451/tantangan-ibu-dan-anak-dengan-hiv-sulit-menerima-dan-takut-stigma