JAKARTA, KOMPAS.com - Kualitas udara Jakarta dan kota-kota sekitarnya dalam beberapa waktu terakhir masuk dalam kategori menghawatirkan dan tidak sehat.
Per pukul 08.00 WIB, Senin (14/8/2023), kualitas udara Jakarta masuk kategori tidak sehat dengan nilai 153 AQI US.
Semakin tinggi nilai AQI, semakin meningkat risiko kesehatan masyarakat.
Adapun menurut situs pemantau kualitas udara, IQAir, mencatat tingkat polusi udara Jakarta sepanjang pekan ini berpotensi di angka 122-153 AQI US.
Itu berarti hingga Sabtu, 19 Agustus 2023, prakiraan kualitas udara Ibu Kota adalah tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Kondisi ini sangat disayangkan mengingat pada Oktober 2022, warga telah memenangkan perkara atas gugatan polusi udara di Jakarta.
Presiden hingga gubernur digugat
Kemenangan gugatan ini terjadi setelah Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan putusan atau vonis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Kemenangan gugatan citizen lawsuit atas pencemaran udara yang diputus di PN Jakarta Pusat pada 16 September 2021 dikuatkan lagi oleh putusan PT Jakarta pada 17 Oktober 2022.
PT DKI mengabulkan sebagian besar tuntutan yang telah diajukan 32 warga dalam citizen lawsuit pencemaran udara Jakarta (CLS Udara).
Adapun tergugat I, tergugat II, tergugat III, dan tergugat IV masing-masing adalah Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan dan Menteri Lingkungan Hidup.
Dengan demikian, keempatnya tetap dinyatakan bersalah dan harus melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Dalam putusannya, majelis hakim menghukum kelima tergugat agar melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Majelis hakim menghukum Presiden untuk menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem.
Termasuk juga kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Majelis hakim juga menghukum Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas ketiga provinsi.
Majelis hakim juga menghukum Gubernur DKI Jakarta untuk melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang mengenai ketentuan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup.
Langkah lambat pemerintah
Dengan begitu, secara hukum pemerintah seharusnya bergerak lebih cepat, terutama seusai Koalisi Ibu Kota ini memenangkan gugatan warga negara.
Dikutip dari Kompas.id, Elisa Sutanudjaja, sebagai perwakilan warga penggungat dari Koalisi Ibu Kota menyayangkan langkah lambat pemerintah dalam mengimplementasikan keputusan pengadilan tersebut.
Pekan lalu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta baru menyerahkan Peraturan Gubernur mengenai Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) untuk ditandatangani Penjabat Gubernur DKI.
Adapun tiga strategi dalam SPPU ialah meningkatkan tata kelola pengendalian pencemaran udara, mengurangi emisi pencemaran udara dari sumber-sumber bergerak seperti transportasi, dan dari sumber yang tidak bergerak seperti industri.
"Implementasi dari regulasi regulasi tersebut masih sangat lambat," ujarnya.
Terlambat disahkan
Sementara itu, Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu turut menyayangkan, lambatnya pengesahan SPPU tersebut.
Padahal, rancangan atau draf SPPU tersebut telah rampung sejak 2021.
Dia menyebut, pascakemenangan gugatan tersebut, pemerintah masih setengah hati dalam mengimplentasikan amanah putusan pengadilan.
Pada saat bersamaan, selama dua tahun ini, kualitas udara justru semakin memburuk, dan kian banyak masyarakat yang terdampak.
”Pemerintah sepertinya menunggu viral (polusi udara) baru mau bergerak lagi. Padahal, kalau dilihat selama dua tahun ini ada berapa orang yang menjadi korban dari polusi udara,” tutur Bondan.
Lebih lanjut, Bondan berharap untuk langkah berikutnya, pemerintah lebih mengedepankan rencana strategis dan solusi jangka panjang.
Rencana tersebut di antaranya adalah inventarisasi emisi secara berkala, pengetatan baku mutu udara ambien, serta sistem peringatan dini.
Kesadaran masyarakat
Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono menegaskan, pencemaran udara di Jabodetabek tidak bisa dibebankan kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat saja.
Hal tersebut ia sampaikan usai rapat terbatas (ratas) yang membahas polusi udara wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) di Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Menurut dia, masyarakat dan pengguna kendaraan pribadi harus memiliki kesadaran untuk meminimalisir polusi udara.
"(Harus ada) kesadaran masing-masing pemilik kendaraan. Karena berdasarkan data kendaraan bermotor lah yang 50 persen kurang lebih menyumbang emisi gas buang yang buruk," ujar Heru.
Lebih lanjut, Heru mengatakan bahwa pihaknya akan menggelar razia uji emisi bagi kendaraan di Jakarta. Pengetatan uji emisi akan dilakukan di beberapa titik tertentu.
"Tadi oleh Bu Menteri LHK kami diperintahkan agar mengetatkan uji emisi dan aturan yang sudah ada nanti kami tinggal ketatkan uji emisi di titik-titik tertentu," ujarnya.
(Penulis: Nasrun Katingka (Kompas.id), Nirmala Maulana Achmad | Editor: Neli Triana (Kompas.id), Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Abdul Haris Maulana)
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/08/15/06101371/mengingat-kembali-presiden-hingga-gubernur-pernah-digugat-karena-buruknya