JAKARTA, KOMPAS.com - Kematian AR (51) di tangan tahanan lain saat mendekam dalam ruang tahanan Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Metro Depok pada Minggu (9/7/2023) jadi sorotan.
Adapun AR yang merupakan terpidana kasus pencabulan terhadap anak kandungnya itu tewas setelah dianiaya delapan tahanan lain. Pelaku diduga menganiaya korban karena kesal atas kejahatannya.
Kepala Unit (Kanit) Kriminal Umum (Krimum) Inspektur Satu (Iptu) Sutaryo berujar, AR sempat disundut rokok alat kemaluannya oleh sesama tahanan sebelum tewas.
"Ada penyundutan rokok ke alat kemaluan korban. Dua orang (yang menyundut korban), satu pakai korek, satu pakai rokok," tuturnya di Mapolres Metro Depok, Kamis (21/9/2023).
AR ternyata juga sempat dimintai uang oleh sesama tahanan. Menurut dia, tersangka yang memintai uang tersebut MY. Pelaku diduga terlibat dalam penganiayaan tersebut.
Kasta terendah
Perlakuan buruk terhadap pelaku kejahatan seksual agaknya bukan pertama kali terjadi di dalam tahanan. Pelaku pencabulan atau pemerkosa disebut punya kasta atau golongan paling rendah dalam sel.
Kekerasan ini pernah terjadi pada Andri Sobari alias Emon, pelaku kejahatan seksual terhadap puluhan anak di Sukabumi pada 2014. Emon diketahui dipukuli hingga babak belur dalam tahanan.
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengaku tak kaget atas perlakuan tahanan lain terhadap pelaku kejahatan seksual di dalam bui.
"Kabarnya, pelaku kejahatan seksual akan 'dihukum' paling berat oleh sesama tahanan atau napi (narapidana)," tutur Reza kepada Kompas.com, Jumat (22/9/2023).
"Sementara, pelaku pembunuhan disebut-sebut sebagai figur paling 'berwibawa' di dalam rutan atau lapas (lembaga pemasyarakatan)," ucap Reza.
Menurut di dalam sistem lapas ada yang namanya manajemen risiko (risk assessment) untuk memilah napi ke dalam sejumlah kategori. Biasanya berdasarkan tingkat kebahayaan dan kemungkinan melarikan diri.
Dalam hal ini, kata Reza, nyatanya sesama tahanan juga memetakan sendiri tingkat kejahatan tahanan lainnya dengan kriteria masing-masing.
"Suka-suka mereka. Ternyata, napi kejahatan seksual mereka tempatkan di kategori bawah," tutur Reza.
Tak boleh dibiarkan
Jika benar demikian, kata Reza, maka memang dibutuhkan pemisahan antara napi kejahatan seksual dan napi pidana lainnya.
"Juga ruangan dilengkapi kamera CCTV dan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan yang jelas disertai sanksi bagi pelanggarnya," ucap Reza.
Menurut Reza, bagi personel jaga yang abai, sehingga tahanan atau napi menjadi korban penganiayaan, perlu dijatuhi sanksi.
Kejahatan sesama tahanan ini, kata Rezam sebetulnya sudah menjadi fenomena di seluruh dunia. Reza pun tak kaget ketika peristiwa yang sama berulang.
"Yang menjadi pertanyaan adalah, karena ini kadung menjadi fenomena, sebetulnya adakah peran kepolisian dan petugas sipir untuk mencegahnya?"
Reza menegaskan jangan sampai ada pembiaran yang aparat lakukan terhadap kekerasan dalam penjara (prison culture). Akan lebih megerikan, kata dia, kalau aparat justru mengambil keuntungan dari prison culture tersebut.
Kronologi penganiayaan
Adapun penganiayaan bermula saat AR dijebloskan ke ruang tahanan Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Metro Depok pada 7 Juli 2023.
Kemudian, ada delapan tahanan yang bertanya AR terjerat kasus apa. AR lantas mengaku telah mencabuli anak kandungnya.
Mendengar hal ini, delapan tahanan itu kesal dan menganiaya AR karena pencabulan terhadap anak di bawah umur dianggap sangat tidak manusiawi. Usai dianiaya, korban sempat pingsan.
Para tahanan yang menganiaya AR lalu melapor ke penjaga ruang tahanan Mapolres Metro Depok. Korban langsung dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, Kelapa Dua, Depok.
Di sana, AR dinyatakan meninggal dunia. Jenazah AR lalu dibawa ke RS Polri untuk diotopsi.
Delapan tersangka yang menganiaya AR adalah MY, EAN, FA, AN, A, N, MN, dan FNA.
Mereka dijerat Pasal 170 KUHP dan/atau Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/09/22/11450081/ar-mati-di-markas-polisi-benarkah-pelaku-kejahatan-seksual-anak-jadi