JAKARTA, KOMPAS.com - Pedagang jamu bernama Ngatiyem (73) ditemukan tewas di rumah kontrakannya, Jalan Sungai Kampar X, RT 20 RW 01, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (30/10/2023).
Saat pertama kali ditemukan, jasad perempuan yang akrab disapa Mbah itu tergeletak di lantai. Tubuhnya membengkak, kulitnya menghitam, dan mengeluarkan aroma tak sedap.
Tetangga rumah kontrakan Mbah bernama Yuli (32) mengenal Ngatiyem sebagai sosok perempuan yang ramah dan bersahaja.
Mendiang sangat dekat dengan tetangga dan selalu menyapa warga dengan senyum hangat meskipun baru mengenal.
"Dia itu orangnya baik memang. Selalu menyapa. Mau dikenal atau enggak, selalu disapa sama dia. Ngajinya juga rajin. Kalau ada pengajian, selalu ikut," kata Yuli saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (1/11/2023).
"Bukan saya saja yang bilang Mbah baik. Tetangga kontrakan di atas saja juga ngomong sama saya juga begitu. 'Kalau saya pulang, selalu disapa'," ucap Yuli melanjutkan.
Menurut catatan kader Dasawisma di RT-nya bernama Juariah (47), Mbah sudah tinggal di rumah kontrakan berkelir biru itu sejak dua tahun terakhir.
Sebelumnya, Mbah beberapa kali pindah rumah kontrakan yang lokasinya masih satu RW dengan tempat ia tinggal sekarang.
Mbah sudah tinggal berpindah-pindah di seputar Semper Barat sejak puluhan tahun silam.
"Sebelum saya tinggal di sini, Mbah sudah di sini. Saya tinggal di daerah sini sejak umur anak saya masih satu tahun, sekarang anak saya sudah 25 tahun," kata Juariah.
Dalam periode waktu itu, Mbah tinggal sebatang kara sebagai pedagang jamu. Setiap hari, ia berjualan keliling kampung dan mangkal di Pasar Rusun, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara.
Suami Mbah juga sudah lama meninggal. Juariah tak mengetahui secara pasti kapan suami Mbah meninggal dunia. Sebab, Mbah jarang menceritakan silsilah keluarganya.
Anak Mbah tidak ada di Jakarta. Mereka bertempat tinggal di Depok dan Solo.
Hanya saja, sesekali salah satu di antara mereka menengok Mbah. Bahkan, sempat mengajak Ngatiyem tinggal bersama.
"Mbah pernah bilang, kan anaknya pernah ajak dia tinggal bareng. Cuma, Mbah enggak mau. 'Sudah biasa sendiri', gitu," ujar Yuli.
Dalam kesehariannya, Mbah selalu terbangun dari tidur pada pukul 02.00 WIB untuk menumbuk bahan baku jamu yang akan dijualnya.
Suara tumbukan nyaring terdengar sampai ke telinga Yuli, mengingat rumah kontrakannya hanya berjarak beberapa meter.
Setelah bahan-bahan siap, Mbah mulai berangkat dari rumah kontrakannya pukul 05.30 WIB.
Tidak lupa, ia selalu berpamitan dengan tetangga apabila terlihat di depan rumah kontrakan.
"Setelah pulang dari Pasar Rusun, dia balik ke kontrakan jam 10.00 WIB, dia masak. Kalau sudah kelar, dia istirahat, tidur di dalam," ujar Yuli.
"Nah. Kan dia dagangannya satu hari itu dua kali. Entar sore, dia bikin jamu lagi. Sehabis asar, dia berangkat lagi, pulang maghrib. Kayak begitu terus kesehariannya," lanjut Yuli.
Riwayat penyakit jantung
Selain menjalankan aktivitas sebagai pedagang jamu, Mbah selalu pergi terapi ke Kelapa Gading serta ikut pengajian.
Tidak sendiri, Mbah pergi bersama salah satu warga setempat yang juga ikut terapi di tempat yang sama.
Keduanya pergi dari Semper Barat ke Kelapa Gading menggunakan sepeda motor.
"Kadang saya suka tanya, 'Mbah, memangnya Mbah sakit apa?', 'jantung, Bu RT. Namanya sudah tua, Bu RT'. Iya, yang namanya sudah lansia, pasti ada saja penyakit. Ya terutama itu, dia sering rajin terapi," kata Juariah yang juga merupakan istri Ketua RT setempat.
"Ya itu, yang saya tahu dia juga darah tinggi. Terutama jantung. Dia soalnya kalau terapi, bilangnya suka sesak dadanya. Awal terapi, bilangnya enakan. Tapi, pas ke sini, katanya enggak ada perubahan," imbuh dia.
Selain terapi dan rajin mengikuti pengajian, Mbah hanya berdiam di rumah kontrakannya atau sekadar berbincang dengan tetangga.
Obrolan ngalor-ngidul kerap kali mereka lakukan di selasar rumah kontrakan. Bangku jongkok kayu berwarna cokelat selalu digunakan Mbah.
Sambil memasak menggunakan kompor minyak tanah, perbincangan ringan antara Mbah dan tetangga rumah kontrakan mengalir seiring berjalannya waktu.
"Duduknya di depan pintunya pakai bangku jongkok. Itu punya dia banget. Dia, pasti di situ, di depan kontrakan sambil nyalain kompor. Dia kan enggak berani pakai gas kalau masak, makanya pakai kompor minyak tanah. Ah, saya merinding," imbuh Yuli sambil mengusap tengkuknya.
Selama dua tahun tinggal di rumah kontrakan biru, Yuli mengaku tidak pernah melihat Mbah jatuh sakit.
Hanya saja, sesekali dia meminta bantuan tetangga untuk membeli obat ke apotek.
"Dia pernah sesekali titip obat, obat pusing di apotek. 'Yang kayak gini ya', gitu, sekali suruh saya. Tapi, dia enggak pernah minta antar ke mana, periksa, enggak, belum pernah sama sekali," ucap Yuli yang sudah 15 tahun tinggal di rumah kontrakan biru.
Kalau pun sakit, Mbah juga sesekali meminta bantuan ke tetangganya untuk sekadar "dikerokin" ketika masuk angin.
"Tapi kadang ke tetangga lain, suka minta dikerokin. Memang dia itu apa-apa sendiri," tutur Yuli.
Terkadang, Mbah dan tetangga selalu bernyanyi sambil berjoget bersama di selasar kontrakan. Hal tersebut bertujuan sekadar menghibur diri ketika rasa suntuk datang.
Bantuan pemerintah
Menurut catatan Dasawisma, Ngatiyem terdaftar sebagai penerima BPJS gratis dari pemerintah.
"Kartu Indonesia Sehat atau PKH Lansia sih enggak dapat dia. Tapi, BPJS gratis, setahu saya, ada," ujar Juariah.
Sayangnya, Mbah tidak dapat memanfaatkan betul fasilitas layanan kesehatannya. Sebab, prosesnya dianggap rumit dan berbelit.
Apalagi, Mbah tinggal seorang diri sehingga tak ada yang bisa membantu mengurus administrasinya.
Kepergian Mbah dalam sunyi dan tidak diketahui siapapun menyisakan rasa sedih yang mendalam bagi para tetangga.
Wajah semringah Ngatiyem sebagai orang yang ramah demikian membekas di benak para tetangga.
"Kami di sini enggak ada yang sangka. Orang enggak ngeluh sakit, tapi tahu-tahu meninggal kayak gitu. Tapi intinya, Mbah orang baik," kata Yuli.
Kini, Mbah Ngatiyem sudah berada di tempat peristirahatan terakhirnya, TPU Budi Dharma, Semper Timur, Cilincing, Jakarta Utara.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/11/04/18591191/mbah-ngatiyem-meninggal-di-kontrakan-dikenang-sebagai-sosok-ramah-dan