Kebisingan itu tidak menghambat kernet bus antar kota-antar provinsi (AKAP), Anto (52), yang berbicara ngalor ngidul tentang pekerjaan, keluarga, hingga pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Malah, dia menaikkan kaki kanan ke atas kursi panjang, kaki kanan posisi duduk bersila, lalu mencondongkan badannya ke depan.
Anto tidak lupa menyeruput segelas kopi lalu menghisap sigaret kreteknya saat hendak memulai kembali pembicaraan.
Suasana di dalam warung kelontong sangat panas, maklum tidak ada kipas angin. Terkadang keringat tanpa sadar mengalir dari dahi ke leher.
Embusan angin di kawasan pergudangan Persimpangan Dadap yang masuk ke sela-sela tirai kayu dari depan warung kelontong lumayan membantu menyejukkan suasana.
Dalam sesi obrolan “warung kopi” ini, pria asal Tegal tersebut mengatakan bahwa para para calon legislatif (caleg) kerap kali menerapkan money politic.
“Ini sudah mulai (politik uang), sudah dari kemarin, bang. Ramai,” ungkap Anto santai.
“Wah, sudah banyak, bang. Jadi gini, ada yang kasih Rp 100.000, nah entar yang satunya kasih Rp 200.000. Nah, itu (yang kasih Rp 200.000) dapat suara. Yang Rp 100.000 kelelep,” ucap dia melanjutkan.
Meski begitu, ia tidak percaya dengan janji politik para kandidat. Anto hanya mengambil uang itu untuk tambahan kebutuhan sehari-hari.
“Iya. Ada orang datang, kasih duit, kita 'amanin' saja. Pokoknya yang (uangnya) gede, dicoblos, gitu saja. Misalnya ada yang kasih Rp 300.000, ya itu saja. Main gede-gedean supaya dapat suara,” ujar dia.
Saat dicolek pertanyaan serupa untuk memastikan, Anto kembali menjawab dan mengakui kalau dia mengambil "pelicin" dari praktik politik uang ini.
“Sering (ambil uangnya). Orang dikasih semuanya kayak gitu sih. Enggak ada yang menolak, enggak ada. Kan sayang-sayang, lumayan buat belanja atau beli apa,” ucap Anto.
Apalagi, suasana praktik politik uang semakin terasa ketika hari pencoblosan. Para pesuruh partai mendatangi rumah warga, melakukan serangan fajar saat matahari belum terbit dari ufuk timur.
“Nanti pas hari-H. Door to door dari Subuh, entar orangnya datang, ketuk-ketuk pintu. 'Berapa orang?', 'lima'. ya gitu. Kalau enggak kayak gitu, enggak jadi. Yang ada duitnya, yang jadi,” imbuh Anto.
Sebagai orang yang telah melewati pemilu beberapa kali, Anto sudah muak dengan silat lidah para kandidat. Ia kecewa, karena janji manis sebelumnya saja belum tuntas.
“Ya yang mau jadi siapa saja, ya sama saja sih. Enggak usah Presiden lah, misal dari partai ini, 'entar kalau sudah jadi, ini diperbaiki'. Pemilu lalu, jadi, coblosnya itu semua. Enggak diperbaiki. Makanya itu, bohong saja,” tutur Anto.
Ayah dua anak itu bercerita, suatu kali ada seorang caleg yang datang ke desanya pada pemilu 2019.
Selain politik uang, caleg tersebut menjanjikan memperbaiki tanggul yang jebol dan menyebabkan rumah warga kebanjiran.
“Tanggul, yang pada jebol-jebol dan banjir, sampai sekarang masih ada. Kalau mau diliput, ketahuan semua, jebol semua, rata sama tanah itu. Dekat rumah saya kan ada kali kecil, hancur semua,” imbuh Anto.
“Lima tahun diprotes, enggak ditengok. Makanya kalau banjir kan parah, sampahnya naik semua. Itu orangnya juga nyaleg lagi,” tambahnya.
Berdasarkan pengalamannya ini, ia sudah lelah percaya dengan orang-orang partai. Masyarakat kecil ujung-ujungnya tetap sengsara dan hanya bisa meratapi nasib.
“Mau siapa saja Presidennya, legislatifnya, ya sama saja, begini-begini saja,” keluh Anto.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/01/26/07234381/obrolan-warung-kopi-bareng-kernet-bus-akap-bahas-money-politic-hingga-tak