Pria asal Tegal, Jawa Tengah, itu mengaku bahwa ada banyak hal yang harus ia korbankan agar bisa mendapatkan uang demi anak dan istrinya, salah satunya adalah waktu bersama keluarga.
Tak tahu kapan pulang
Kepada Kompas.com, Anto menjelaskan mengenai tugas-tugas pokok sebagai seorang kernet.
Di Terminal Tegal, Anto hanya melakukan pemeriksaan dengan mengambil karcis-karcis dari penumpang.
“Nanti (karcisnya) kasih pengurus, lalu berangkat. Entar kalau di jalan dapat tiga penumpang, ya ambil duitnya, terus kasih sopir,” kata Anto saat berbincang dengan Kompas.com di sebuah warung kopi, Dadap, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (24/1/2024).
Setelah sampai tujuan, misal wilayah Dadap, Anto bersama sopir bus tidak langsung kembali ke Terminal Tegal. Mereka menunggu penumpang sampai keesokan harinya.
“Kita rutenya dari Tegal, masuk Cipali, Grogol, Cengkareng, Kamal Muara, Dadap. Terus, ngetem. Kalau enggak ada penumpang, ya kayak begini, nge-pool, enggak pulang,” ujar Anto.
“Ya kalau misalnya cuma dapat dua atau tiga penumpang bagaimana? Entar pengurusnya enggak berani nombok. Ya syukur-syukur ada 10 lebih, bisa pulang. Kalau penumpangan cuma dua atau tiga, ya di sini lagi. Iya, enggak (pulang),” lanjutnya.
Jika mendapatkan penumpang banyak, mereka langsung bergegas. Tugas Anto sama seperti di Terminal Tegal, melakukan pengecekan.
Jika ada penumpang di tengah jalan, ia mengambil uang lalu memberikan kepada sopir.
Saat tiba di Terminal Tegal, Anto harus membersihkan bus. Ia memungut sampah penumpang yang tersisa dan menyapu lantai bus sampai bersih.
Setelah itu, Anto baru bisa menerima upahnya dalam satu kali perjalan pulang dan pergi.
Namun, tugas Anto belum usai. Saat matahari terbit, ia harus mencuci bus sebelum akhirnya digunakan oleh sopir lain.
“Waktu baru-baru jadi kernet, ya semangat. Setelah narik, sampai Terminal 03.00 WIB, langsung nyuci saya. Tapi lama-lama saya kena penyakit, keluar darah. Saking capeknya kali ya. Pas diperiksa, kecapean katanya,” imbuh Anto.
“Saya berpikir, ya karena besoknya libur, mending cuci pagi saja. Kan enak, soalnya sudah tidur. Kira-kira jam 08.00 WIB. Nanti jam 12.00 WIB sudah bersih semua. Besoknya lagi, ngetem lagi (di Terminal Tegal),” tambahnya.
Penghasilan tak menentu
Menjadi kernet bus AKAP sejak 2015, Anto mengaku bahwa penghasilan yang didapat dari pekerjaannya itu tidak menentu.
Upah yang ia dapat tergantung dengan sopir yang menjadi teman perjalannya ke sebuah tujuan.
“Kalau sopirnya kasihan atau baik, ya dikasih Rp 250.000 atau Rp 300.000. Kalau sopirnya kayak bajingan semua, paling Rp 150.000,” kata Anto.
“Dia (sopir rata-rata) penginnya duitnya yang gede. Kernet (bagi sopir) mah masa bodoh,” ucap Anto sambil menggelengkan kepala.
Meski begitu, Anto berterus terang bahwa ia kerap bersekongkol dengan penumpang soal harga tiket bus guna menambah pemasukannya.
“Kayak di jalan, ya kita juga berpolitik juga, enggak goblok-goblok amat. Misalnya ada penumpang masuk, sopir tanya, ‘berapa itu?’, ‘Rp 110.000’. Padahal, penumpang bayarnya Rp 120.000, saya pegang Rp 10.000, saya simpan, harus kayak gitu,” ujar Anto.
"Kan lumayan, kadang dapat Rp 70.000 atau Rp 80.000. Kalau sopirnya curiga, saya ngomong sama penumpang, ‘kalau sopirnya tanya, Rp 110.000 ya’. Iya, kongkalikong. Jadi kan lumayan, Rp 150.000 ditambah Rp 80.000. Tapi kan itu kalau ada penumpang, kalau enggak, ya begitu,” pungkasnya.
(Tim Redaksi: Baharudin Al Farisi, Akhdi Martin Pratama)
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/01/26/15463201/lika-liku-keseharian-kernet-bus-akap-tak-tahu-kapan-pulang-dengan